Saturday, February 21, 2009

Syubhat dan Bantahan Seputar Turunnya Isa ‘alaihissalam



Syubhat dan Bantahan Seputar Turunnya Isa ‘alaihissalam
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
Syariah, Kajian Utama, 15 - November - 2007, 08:10:31


Mengkaji hal-hal yang sifatnya ghaib seperti turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam di akhir zaman, tentu tak luput dari pro dan kontra. Karena sebagai bagian dari ranah keimanan, tentu itu semua tak bisa ditelisik hanya dengan mengandalkan indera manusia yang terbatas. Siapa yang tak mampu menundukkan akalnya di bawah kendali keimanan, niscaya ia akan berada di barisan pasukan pengingkar.

Pengingkar Turunnya Al-Masih Isa
Di antara bentuk penyimpangan aqidah adalah pengingkaran atau tidak mengimani akan turunnya Isa. Pengingkaran ini bisa dilakukan secara individual semacam yang dilakukan oleh Mahmud Syaltut, guru besar Universitas Al-Azhar, Mesir1, atau secara kelompok seperti sebagian kelompok Mu’tazilah serta orang-orang filsafat dan atheis. (Iqamatul Burhan hal. 6)
Di antara alasan mereka dalam mengingkari turunnya Isa adalah:
 Bahwa hadits-hadits dalam hal itu palsu dan tidak masuk akal.
Jawab: Bahwa hadits-hadits dalam hal ini sangat banyak. Bahkan para ulama menggolongkannya sebagai hadits mutawatir. Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri mengatakan bahwa jumlahnya mencapai lebih dari 50 hadits. Mayoritasnya shahih dan sebagian lagi hasan. Adapun anggapan tidak masuk akal, Asy-Syaikh At-Tuwaijiri juga telah menyanggahnya. Beliau mengatakan: “Adapun nalar yang lurus dan akal sehat yang selalu berjalan bersama kebenaran ke mana kebenaran itu mengarah, niscaya tidak akan ragu-ragu dalam menerima kebenaran yang datang dari Kitabullah atau yang secara mutawatir datang dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal turunnya Al-Masih (Isa) di akhir zaman. Tapi nalar yang melenceng serta akal yang rusak, tidak akan segan-segan menolak kebenaran. Sehingga akal yang rusak serta pengusungnya itu tidak perlu diperhitungkan.”
 Syubhat: Turunnya Isa itu mustahil, karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dengan nash Al-Qur`an.
Jawab: Bahwa turunnya Isa di akhir zaman tidaklah membawa syariat yang baru. Tidak pula berhukum dengan Injil. Namun berhukum dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ia menjadi salah satu umat ini (seperti pada hadits-hadits yang lalu, -pent.). Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Allah dahulu mengatakan:
إِنَّ الدَّجَّالَ خَارِجٌ -فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَفِيْهِ- ثُمَّ يَجِيْءُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ مُصَدِّقاً بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم وَعَلَى مِلَّتِهِ، فَيَقْتُلُ الدَّجَّالَ ثُمَّ إِنَّمَا هُوَ قِيَامُ السَّاعَةِ
“Bahwa Dajjal pasti keluar –lalu beliau melanjutkan haditsnya, dalam hadits itu–. Lalu datanglah Isa bin Maryam membenarkan Muhammad dan di atas agama Muhammad, kemudian setelah itu tegaklah hari kiamat.” (HR. Ath-Thabarani, dan Al-Haitsami mengatakan: “Para rawinya adalah para rawi kitab Shahih.”) [Iqamatul Burhan, At-Tuwaijiri]
 Syubhat: Seandainya turunnya Isa itu termasuk prinsip iman, tentu itu akan disebut dalam Al-Qur`an dengan tegas.
Jawab: Semua yang telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuatu yang telah beliau beritakan akan terjadi, wajib kita imani. Dan ini merupakan realisasi dari syahadat Muhammad Rasulullah. Dan realisasi ini termasuk prinsip iman, di mana seseorang tidak menjadi seorang mukmin yang terlindungi darah dan hartanya hingga merealisasikan persaksian kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَيُؤْمِنُوا بِي وَبِمَا جِئْتُ بِهِ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang benar kecuali Allah, serta beriman denganku dan dengan apa yang aku bawa. Bila mereka melakukan itu maka mereka telah melindungi dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan haknya. Dan hisabnya diserahkan kepada Allah.” (Shahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dan telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memberitakan akan munculnya Mahdi di akhir zaman, keluarnya Dajjal, serta turunnya Isa. Sehingga wajib mengimani hal itu sebagai bentuk bukti pembenaran terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya.” (An-Najm: 3-4)
Dan sebagai pengamalan terhadap firman-Nya:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
 Syubhat: berita-berita semacam ini akan membuka pintu bagi manusia untuk mengaku-ngaku bahwa dirinya Mahdi atau bahkan Al-Masih Ibnu Maryam ‘alaihimassalam.
Jawab: Berita-berita dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, tidak bisa ditolak dengan alasan kemungkinan-kemungkinan serta argumen yang tidak tepat semacam ini. Bahkan harus dipercayai dan diterima, meskipun ada yang tergoda dengan kandungannya (sehingga mengaku-ngaku, -pent). Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengatakan kepada manusia:
وَأَنْ أَتْلُوَ الْقُرْآنَ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَقُلْ إِنَّمَا أَنَا مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ
“Dan supaya aku membacakan Al-Qur`an (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan’.” (An-Naml: 92)
Demikianlah cara menyikapi berita-berita yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni disambut dengan sikap menerima dan percaya. Serta tidak perlu menoleh kepada ahlul fitnah yang menyelewengkan maknanya, tidak sesuai dengan yang semestinya dan menerapkannya tidak pada tempatnya… Dan barangsiapa mengaku bahwa dirinya adalah Al-Masih Ibnu Maryam ‘alahimassalam sementara Dajjal belum keluar maka dia adalah seorang pendusta. Dan Al-Masih Ibnu Maryam ‘alaihimassalam itu punya dua tanda yang tidak dimiliki oleh manusia yang lain:
1. Bahwa ia membunuh Dajjal, sebagaimana dalam hadits yang mutawatir. 
2. Bahwa tidak mungkin bagi seorang kafir yang mendapatkan desah nafasnya kecuali pasti mati. Sedangkan nafasnya berakhir ke mana berakhirnya pandangannya, seperti dalam hadits An-Nawas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. At-Tirmidzi mengatakan: “Gharib, hasan shahih.”
Dengan dua tanda ini, terkuburlah segala harapan bagi setiap pendusta yang mengaku-aku dirinya adalah Al-Masih Ibnu Maryam ‘alaihimassalam. (Diringkas dari kitab Iqamatul Burhan, hal. 11-27 karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri)

Ahmadiyyah
Golongan lain yang menyeleweng dalam hal keimanan akan turunnya Al-Masih Ibnu Maryam ‘alaihimassalam adalah Ahmadiyyah. Aliran yang diprakarsai oleh seorang bernama Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadyani ini mengklaim bahwa dirinyalah sesungguhnya yang dijanjikan dalam hadits-hadits akan turunnya Isa Ibnu Maryam. Namun karena tahu bahwa dirinya bukanlah Al-Masih Ibnu Maryam maka dia menciptakan suatu doktrin bagi pengikutnya bahwa Al-Masih Ibnu Maryam telah mati. Ini dia lakukan demi mencapai sebuah sasaran, yakni bahwa sebenarnya yang muncul bukanlah Al-Masih, tapi orang yang menyerupainya. Siapa dia? Tentu yang dia maksudkan adalah dirinya.

Bantahan:
Amat mudah sebenarnya mengungkap kedustaan mereka dan membantah pembodohan mereka terhadap umat. Saya nyatakan, mereka tentunya mengimani hadits-hadits yang menerangkan akan turunnya Isa. Jika tidak, bagaimana mungkin mereka mengklaim bahwa yang dijanjikan dalam hadits adalah orang yang menyerupai Al-Masih.
Dan sejak awal langkah, akan hancurlah proklamasi mereka bahwa Mirza-lah yang dijanjikan dalam hadits. Karena jikalau mereka mengimani hal itu, semestinya pula mereka beriman dengan sifat-sifat fisik Al-Masih, bagaimana peristiwa turunnya, misi yang diembannya, serta kondisi alam pada zamannya. Termasuk dua hal yang disebut oleh At-Tuwaijiri di atas, bahwa ia membunuh Dajjal dan bahwa setiap orang kafir yang mendapati desah nafasnya pasti akan mati.
Apakah ini terjadi pada Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadyani, bila ia benar-benar orang yang dijanjikan dalam hadits? Tentu setiap orang tahu –termasuk Mirza sendiri– bahwa itu semua tidak terjadi pada dirinya. Demikian pula kata-kata “turun” yang tidak menunjukkan adanya kematian, mereka takwil. Sehingga tidak mereka imani apa adanya, bahkan mereka selewengkan kepada makna lain, semacam “keluar” atau “kebangkitan”.
Adapun anggapan mereka bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam telah wafat, tidak diangkat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu ini juga merupakan kebatilan yang nyata. Melalui pembahasan sebelumnya, pembaca dapat menakar seberapa nilai keyakinan ini.
Namun mereka berupaya melegitimasi keyakinan tersebut dengan ayat yang mereka selewengkan maknanya. Di antaranya:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُوْلٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (Ali ‘Imran: 144)
Mereka anggap bahwa para nabi seluruhnya telah wafat atas dasar makna (خَلَتْ) yakni yang telah mati. Dan bahwa Abu Bakr berdalil dengan ayat ini atas kematian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena para nabi sebelumnya telah mati. Para sahabat juga berijma’ atas kematian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh rasul sebelumnya.
Jawab: Seandainya kita terima bahwa (خَلَتْ) bermakna mati, maka dalil-dalil yang lain menunjukkan pengkhususan Isa dari hukum ini. Artinya mereka semua mati terkecuali Isa. Lalu, siapakah yang menukilkan “ijma’ para shahabat” bahwa mereka sepakat atas kematian seluruh nabi termasuk Nabi Isa? Bukankah ini semata-mata kedustaan?
إِذْ قَالَ اللهُ يَا عِيْسَى إِنِّي مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَجَاعِلُ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْكَ فَوْقَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأَحْكُمُ بَيْنَكُمْ فِيْمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya.” (Ali ‘Imran: 55)
Mereka mengatakan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan kata (مُتَوَفِّيكَ) “mewafatkanmu” yakni mematikanmu.
Jawab: Bahwa maksud Ibnu Abbas adalah mewafatkannya di akhir zaman setelah turunnya. Yang semakin menguatkan hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Bisyr dan Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam menafsirkan ayat ini. Beliau katakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkatmu kemudian mewafatkanmu di akhir zaman.” (lihat Ad-Dur Al-Mantsur, 2/36)
Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma sendirilah yang menjelaskan maksud ucapannya, tidak memerlukan orang-orang Ahmadiyyah untuk menyelewengkan ucapannya menuruti keinginan mereka. Demikian pula riwayat-riwayat lain dari beliau yang menunjukkan keimanan tentang diangkatnya Isa dan akan turunnya beliau. Seperti tafsir beliau terhadap ayat 61 dari surat Az-Zukhruf: “Sungguh itu adalah tanda untuk datangnya hari kiamat.” Beliau katakan: “Yakni munculnya Isa bin Maryam ‘alaihimassalam sebelum hari kiamat.” (HR. Al-Imam Ahmad)
Kemudian kata (مُتَوَفِّيكَ) “mewafatkanmu” dalam penggunaan bahasa Arab yaitu bahasa Al-Qur`an, tidak terbatas pada “kematian”. Bahkan bisa berarti “mengambil atau menangkap”, terkadang juga bermakna “menidurkan”. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan: “Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِذْ قَالَ اللهُ يَا عِيْسَى إِنِّي مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu, mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir’.” (Ali Imran: 55)
justru menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memaksudkan dengan kata (مُتَوَفِّيكَ) adalah mati. Kalau yang Allah Subhanahu wa Ta’ala maksudkan adalah kematian, tentu dalam hal ini Isa sebagaimana mukminin yang lain, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala ambil arwah mereka dan Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat menuju langit. Dengan itu diketahui, tidak ada keistimewaan (pada Nabi Isa kalau begitu, pent.)... Padahal pada ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللهِ وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوا فِيْهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًا. بَلْ رَفَعَهُ اللهُ إِلَيْهِ ...
“Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah’, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya….” (An-Nisa`: 157-158)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di sini “Allah mengangkatnya kepada-Nya” menerangkan bahwa ia diangkat dengan jasad dan rohnya. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa makna: (مُتَوَفِّيْكَ) adalah “mengambilmu”2 yakni mengambil roh dan badanmu… Dan terkadang bermakna menidurkan seperti firman-Nya:
اللهُ يَتَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (Az-Zumar: 42)
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيْهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (Al-An’am: 60) [Majmu’ Fatawa, 4/322-323]
Ahmadiyyah mengatakan bahwa maksud diangkatnya Isa adalah diangkat derajatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajatnya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat rohnya sebagaimana arwah kaum mukminin. Seperti Nabi Idris ‘alaihissalam:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيْسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيْقًا نَبِيًّا. وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Maryam: 56-57)
Jawab: Tentang Idris ‘alaihissalam, para ulama memiliki beberapa tafsir tentang ayat itu. Di antara para ulama mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkatnya ke langit dalam keadaan hidup lalu meninggal padanya. Dan ini tafsiran Ibnu Abbas, Mujahid, dan selain keduanya dari ulama salaf. Dengan tafsir ini maka ayat ini justru menjadi dalil yang mematahkan pendapat mereka.
Yang lain berpendapat diangkatnya derajat Nabi Idris di dalam surga, dan tanpa diragukan, bahwa itu dengan jasad dan rohnya. Lalu seandainya pun ayat yang berkaitan dengan Idris itu artinya terangkatnya derajat, tidak mesti berarti demikian pada ayat yang berkaitan dengan Isa. Karena tentang Isa sangat jelas bahwa maksudnya adalah terangkatnya roh dan jasad dengan alasan:
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: “Dan mengangkatmu kepada-Ku”, “Bahkan Allah mengangkatnya kepada-Nya.” Dan sesuatu yang telah tetap/pasti dan disepakati kaum muslimin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada pada ketinggian. Sehingga arti diangkat kepadanya adalah ke langit. Berbeda dengan ayat yang berkaitan dengan Idris “Dan kami mengangkatnya pada tempat yang tinggi” (tidak ada kata-kata “kepada-Ku” atau “kepada-Nya”). Tentu orang yang sedikit saja tahu bahasa Arab akan mengetahui perbedaan kedua susunan kalimat itu.
Seandainya pun –kita mengalah dalam diskusi– bahwa ayat tidak menunjukkan diangkatnya jasad Isa ke langit, namun hadits-hadits sendiri dengan tegas menunjukkan demikian dan jumlahnya sangat banyak. Lantas apa keistimewaan Isa kalau dikatakan seperti layaknya muslimin yang lain?
Dalam ayat An-Nisa 157-158 di atas terdapat dalil yang sangat jelas bagaikan terangnya matahari menunjukkan apa yang telah dijelaskan dan yang diimani kaum mukminin. Firman-Nya: “Bahkan Allah mengangkatnya kepada-Nya” menunjukkan diangkatnya roh dan jasad. Seandainya Allah memaksudkan kematian, tentunya akan dikatakan: “Tidaklah mereka membunuhnya dan tidaklah mereka menyalibnya… bahkan ia mati.” (Lihat At-Taudhih li Ifkil Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatal Masih, karya Shalih bin Abdul ‘Aziz As-Sindi)
Wallahu a’lam bish shawab.

1 Dalam buku kumpulan fatwanya hal. 59-82. Lihat Asyrathus Sa’ah hal. 349, Ash-Shahihah no. 1529.
1 Bukan “mewafatkanmu”.




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

langgeng.js
© 2009-2018