Monday, February 16, 2009

Menjaga Rahasia



Menjaga Rahasia
Penulis: Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran
Sakinah, Permat Hati, 15 - November - 2007, 21:53:23


Memegang teguh suatu rahasia adalah sikap yang sangat sulit dipegangi di masa sekarang. Maka alangkah baiknya jika anak-anak kita sudah terdidik dengan sikap itu sejak kecil. Sifat kanak-kanak yang melekat, seperti keingintahuan yang besar, tentu saja menjadikan upaya itu tak mudah. Sehingga teladan orangtua menjadi hal yang sepatutnya dilakukan.

Gosip, layaknya sesuatu yang mudah ditemui. Satu rahasia yang semestinya tersimpan rapi pun begitu mudah dibongkar melalui jalan ini. Tak hanya diminati oleh kaum ibu, anak-anak pun banyak menggemarinya. Tatkala duduk-duduk bersama teman, tak jarang berbagai obrolan meluncur tanpa terasa. Sampai hal yang semestinya tak disampaikan pun akhirnya terungkap. Terkadang disertai bumbu, “Ssst… tapi jangan bilang siapa-siapa, ya! Ini rahasia!”
Hal tercela yang dianggap biasa. Orangtua yang mendengar atau menyaksikan anak-anaknya melakukan seperti ini pun tak bereaksi. Wallahul musta’an …
Padahal tidak demikian yang ada dalam kehidupan para pendahulu kita yang shalih. Mereka begitu kukuh memegang sesuatu yang disebut rahasia. Barangkali perlu kita lihat, bagaimana putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fathimah radhiyallahu 'anha memegang rahasia sang ayah, sampai waktunya dia bisa mengungkapkannya. Aisyah radhiyallahu 'anha mengisahkan:
أَقْبَلَتْ فَاطِمَةُ تَمْشِي كَأَنَّ مِشْيَتَهَا مَشْيُ النَّبِيِّ، فَقَالَ النَّبِيُّ: مَرْحَبًا يَا ابْنَتِي، ثُمَّ أَجْلَسَهَا عَنْ يَمِيْنِهِ – أَوْ عَنْ شِمَالِهِ – ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا حَدِيْثًا فَبَكَتْ، فَقُلْتُ لَهَا: لِمَ تَبْكِيْنَ؟ ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا حَدِيْثًا فَضَحِكَتْ، فَقُلْتُ: مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ فَرَحًا أَقْرَبَ مِنْ حُزْنٍ، فَسَأَلْتُهَا عَمَّا قَالَ. فَقَالَتْ: مَا كُنْتُ لِأُفْشِيَ سِرَّ رَسُوْلِ اللهِ – حَتَّى قُبِضَ النَّبِيُّ - فَسَأَلْتُهَا
Suatu ketika, Fathimah datang berjalan kaki. Cara jalannya amat mirip dengan cara jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menyambut, “Selamat datang, wahai putriku!” Lalu beliau mendudukkan Fathimah di sebelah kanannya –atau di sebelah kirinya– kemudian beliau membisikkan sesuatu kepadanya. Fathimah pun menangis. Kutanyakan padanya, “Mengapa engkau menangis?” Kemudian beliau membisikkan sesuatu lagi kepadanya, lalu dia tertawa. Aku berkata heran, “Tak pernah kulihat kegembiraan yang begitu dekat dengan kesedihan seperti hari ini.” Aku pun bertanya pada Fathimah tentang apa yang dikatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fathimah menjawab, “Aku tak akan menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam!” Sampai ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, aku tanyakan kembali hal itu kepadanya (barulah Fathimah menceritakannya).” (HR. Al-Bukhari no. 3623 dan Muslim no. 2450)
Kalau sekarang kita dapati, orangtua yang membiarkan perilaku anaknya menyebarkan rahasia, dulu pada masa shahabat, orangtua justru membimbing anaknya untuk menjaga rahasia. Seorang ibu yang mulia, yang dikenal amat besar semangatnya untuk memberikan kebaikan pada anaknya, Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha, menjadi cermin bagi kita untuk berkaca diri. Diceritakan oleh putranya, Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:
أَتَى عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَا أَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ. قَالَ: فَسَلَّمَ عَلَيْنَا، فَبَعَثَنِي إِلَى حَاجَةٍ. فَأَبْطَأْتُ عَلَى أُمِّي. فَلَمَّا جِئْتُ قَالَتْ: مَا حَبَسَكَ؟ قُلْتُ: بَعَثَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَاجَةٍ. قَالَتْ: مَا حَاجَتُهُ؟ قُلْتُ: إِنَّهَا سِرٌّ. قَالَتْ: لاَ تُحَدِّثَنَّ بِسِرِّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدًا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangiku ketika aku sedang bermain-main dengan anak-anak yang lain. Beliau memberi salam kepada kami, lalu menyuruhku untuk suatu keperluan, sehingga aku terlambat pulang kepada ibuku. Ketika aku datang, ibuku bertanya, “Apa yang membuatmu terlambat?” “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk suatu keperluan,” jawabku. “Apa keperluannya?” tanya ibuku. Aku menjawab, “Itu rahasia.” Ibuku pun mengatakan, “Kalau demikian, jangan kau beritahukan rahasia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada siapa pun!” (HR. Al-Bukhari no.6289 dan Muslim no.2482)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan, sebagian ulama mengatakan bahwa sepertinya rahasia itu khusus berkenaan dengan istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya rahasia itu berupa ilmu tentu tidak ada celah bagi Anas radhiyallahu 'anhu untuk menyembunyikannya.
Al-Hafizh rahimahullahu juga menukilkan penjelasan Ibnu Baththal rahimahullahu bahwa pendapat yang dipegangi oleh ahlul ilmi, rahasia tidak boleh disembunyikan bila mengandung bahaya bagi pemiliknya. Sebagian besar dari mereka berpendapat bila pemilik rahasia itu meninggal, maka tidak harus disembunyikan rahasianya sebagaimana yang harus dilakukan semasa hidupnya, kecuali bila berakibat merendahkan martabatnya. (Fathul Bari, 11/99)
Demikian semestinya. Orangtua harus benar-benar bijak mengajarkan kepada anak-anaknya untuk menjaga rahasia. Tidak setiap hal boleh diberitakan dan tidak setiap rahasia boleh disebarkan. Dengan ini, akan tumbuh kepercayaan masyarakat pada dirinya di masa mendatang, sebagai seseorang yang dipandang bisa memegang rahasia.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

langgeng.js
© 2009-2018