Showing posts with label islam.mahram. Show all posts
Showing posts with label islam.mahram. Show all posts

Friday, February 20, 2009

Mahram Susuan



Mahram Susuan
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Sakinah, Wanita Dalam Sorotan, 14 - Desember - 2004, 10:21:50


Pada edisi terdahulu kita telah ketahui bila seorang bayi disusui oleh wanita selain ibunya (ibu susu) terjalinlah hubungan mahram antara keduanya beserta pihak-pihak tertentu yang terkait dengan keduanya. Namun hubungan mahram tersebut tidak dapat terjalin bila tidak menetapi ketentuan-ketentuan yang ada, yaitu kapan/ pada usia berapa penyusuan itu terjadi dan berapa kali terjadinya penyusuan (kadar penyusuan).

Kapan Terjadinya Penyusuan 
Ulama berbeda pendapat dalam masalah pada usia berapa penyusuan seorang anak menjadikan terjalinnya hubungan mahram antara si anak dengan wanita yang menyusuinya. Sebagian ulama berpendapat penyusuan itu seluruhnya membuat terjalinnya hubungan mahram, sama saja apakah terjadinya ketika anak masih kecil ataupun sudah besar, dengan dalil hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha tentang kisah Sahlah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyusui Salim maula Abu Hudzaifah, maka Sahlah berkata: “Bagaimana aku menyusuinya sementara dia sudah besar?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum dan berkata: 

(( قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيْرٌ))

“Aku tahu Salim itu sudah besar.” (HR. Muslim no. 1453)
Mereka juga berdalil dengan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 
....وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ 
“(Diharamkan bagi kalian menikahi)……ibu-ibu kalian yang menyusui kalian (ibu susu).” (An-Nisa: 23)
Adapun jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in, dan ulama berbagai negeri1 berpendapat; penyusuan yang dapat menjalin hubungan mahram adalah saat anak berusia di bawah dua tahun. (Syarah Shahih Muslim, 10/30). 
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa mayoritas para imam berpendapat penyusuan tidaklah menjadikan hubungan mahram kecuali bila penyusuan itu terjadi saat si anak berusia di bawah dua tahun. Adapun di atas itu maka tidak menjadikan hubungan mahram antara dia dan wanita yang menyusuinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/290, 481) 
Demikian pendapat ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas‘ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ummu Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha dan jumhur ulama. Dan ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik dalam satu riwayat. Pendapat Al-Imam Malik yang lain adalah dua tahun dua bulan atau tiga bulan. Abu Hanifah berpendapat dua tahun enam bulan. Zufar ibnul Hudzail berpendapat selama anak itu masih menyusu sampai ia berusia tiga tahun. 
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Seandainya seorang anak telah disapih sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita yang menyusui anak tersebut setelah penyapihannya maka tidaklah penyusuan ini menjadikan hubungan mahram karena air susu tadi kedudukannya sudah sama dengan makanan yang lain.” 
‘Umar ibnul Khaththab dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhuma pernah berkata: “Penyusuan yang terjadi setelah anak disapih tidaklah menjadikan hubungan mahram.” Mungkin keduanya memaksudkan usia dua tahun seperti pendapat jumhur ulama, sama saja apakah anak itu telah disapih ataupun belum disapih. Namun mungkin juga yang mereka maksudkan seperti ucapannya Imam Malik di atas, wallahu a`lam. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291, Aunul Ma’bud, 6/43)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu menyatakan bahwa yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka adalah penyusuan itu tidak menjadikan hubungan mahram kecuali bila anak susu itu berusia di bawah dua tahun. Adapun penyusuan yang terjadi setelah seorang anak berusia dua tahun penuh tidaklah menjadikan hubungan mahram. (Sunan At-Tirmidzi, 2/311) 
Pendapat yang kedua ini berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعُنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَة
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan”.
Sebagaimana pendapat ini bersandar dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, di sisi ‘Aisyah ada seorang lelaki yang sedang duduk. Beliau tidak suka melihat hal itu dan terlihat kemarahan di wajah beliau. ‘Aisyah pun berkata: “Wahai Rasulullah! Dia saudara laki-lakiku sepersusuan.” Rasulullah menanggapinya dengan menyatakan:
((اُنْظُرْنَ إِخْوَتَكُنَّ مِنَ الرَّضَاعَةِ . فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ)) 
“Perhatikanlah saudara-saudara laki-laki kalian sepersusuan. Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.2” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)
Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memastikan perkara menyusui ini, apakah penyusuan itu benar adanya dengan terpenuhi syaratnya yaitu terjadi di masa menyusu dan memenuhi kadar penyusuan. Abu ‘Ubaid berkata: “Makna hadits ini adalah anak itu bila lapar maka air susu ibu adalah makanan yang mengenyangkannya bukan makanan yang lain.”
Adapun anak yang sudah makan dan minum maka penyusuannya bukanlah untuk menutupi laparnya karena pada makanan dan minuman yang lain bisa memenuhi perutnya, berbeda dengan anak kecil yang belum makan makanan. (Fathul Bari, 9/179, Subulus Salam, 3/333, Nailul Authar, 6/368)
Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu berkata dalam Al-Ma‘alim: “Penyusuan yang menyebabkan terjalinnya hubungan mahram adalah ketika anak susu itu masih kecil sehingga air susu itu dapat menguatkannya dan menutupi rasa laparnya. Adapun penyusuan yang terjadi setelah ini, dalam keadaan air susu tidak dapat lagi menutupi rasa laparnya dan tidak dapat mengenyangkannya kecuali dengan memakan roti dan daging atau yang semakna dengan keduanya, maka tidaklah menyebabkan hubungan mahram.” (Aunul Ma‘bud, 6/43)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Penyusuan yang ditetapkan kemahraman dengannya dan dibolehkan khalwat karenanya adalah ketika anak yang disusui masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya karena perutnya masih lemah cukup terisi dengan susu dan dengan air susu ini tumbuhlah dagingnya. Dengan demikian ini jadilah si anak susu seperti bagian dari ibu susunya sehingga ia menyertai anak-anak ibu susu dalam hubungan mahram. Dalam hadits ini3 Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seolah-olah mengatakan: “Tidak ada penyusuan yang teranggap kecuali yang bisa mencukupi dari rasa lapar atau memberi makanan dari rasa lapar.” (Fathul Bari, 9/179) 
Jumhur ulama juga berdalil dengan hadits Ummu Salamah radhiallahu 'anha yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1162):
((لاَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ إِلاَّ مَا فَتَقَ الأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَ كَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ )) 
“Suatu penyusuan tidaklah mengharamkan (terjadinya pernikahan) kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Al-Irwa no. hadits 2150) 
Adapun kisah Sahlah dengan Salim yang menjadi dalil bagi pendapat pertama maka hal itu merupakan pengecualian bagi orang yang keadaannya seperti Sahlah dan Salim.4

Kadar Penyusuan 
Ahli ilmu pun berbeda pendapat dalam masalah kadar penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram.
• Pendapat pertama: Penyusuan sedikit ataupun banyak itu terjadi akan menyebabkan terjalinnya kemahraman dengan syarat air susu tersebut sampai ke dalam perut. Demikian pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dihikayatkan pendapat ini oleh Ibnul Mundzir dari ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Atha, Thawus, Ibnul Musayyab, ‘Urwah ibnuz Zubair, Al-Hasan, Mak-hul, Az-Zuhri, Qatadah, Al-Hakam, Hammad, Malik, Al-Auza‘i, Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ ...
“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…” (An-Nisa: 23)
Dalam ayat ini tidak disebutkan jumlah penyusuan yang menyebabkan anak susu haram menikahi ibu susunya. 
Demikian pula hadits: 
فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ
“Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)
tidak disebutkan berapa kali terjadi penyusuan. 
• Pendapat kedua: Minimal tiga kali penyusuan, sebagaimana pendapat yang lain dari Al-Imam Ahmad, pendapat ahlu dzahir kecuali Ibnu Hazm, pendapat Sulaiman bin Yasar, Sa’id bin Jubair, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Ibnul Mundzir dan Abu Sulaiman, berdalil dengan apa yang dipahami dari hadits:
لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ 
“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)
Ummul Fadhl radhiallahu 'anha menceritakan: Datang seorang A‘rabi (Arab badui) menemui Nabiyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika itu beliau berada di rumahku. Badui itu berkata: “Wahai Nabiyullah, aku dulunya punya seorang istri, kemudian aku menikah lagi. Maka istri pertamaku mengaku telah menyusui istriku yang baru dengan satu atau dua isapan.” Mendengar hal tersebut, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
لا تُحَرِّم الإِمْلاجَةُ وَ الإملاجتَانِ
“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1451)
• Pendapat ketiga: Hukum yang diakibatkan penyusuan tidak bisa ditetapkan bila kurang dari lima susuan, berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha yang menyebutkan di-mansukh-kannya (dihapus) hukum penyusuan yang sepuluh menjadi lima.
كاَنَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرَ رَضْعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحْرِمْنَ ثُمَّ نُسِخَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ 
“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.” 
Pendapat ini dipegangi oleh Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin Az-Zubair, Asy-Syafi‘i dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad. 
(Lihat Al-Umm, 5/26-27, Fathul Bari, Syarah Shahih Muslim, 10/29, Tafsir Ibnu Katsir,1/480-481, Subulus Salam, 3/331-332, Nailul Authar, 6/363) 
Dari ketiga pendapat di atas, wallahu a‘lam, yang kuat adalah pendapat ketiga. Adapun ayat yang umum dalam permasalahan ini: 
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ
“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…”
dan dalil-dalil umum lainnya, dikhususkan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: 
لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ 
“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.”
dan dikhususkan dengan hadits ‘Aisyah:
كاَنَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرَ رَضْعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحْرِمْنَ ثُمَّ نُسِخَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ 
“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.” 
Namun pada sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: 
لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ 
“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)
tidak secara jelas menunjukkan tiga dan empat kali penyusuan dapat menyebabkan keharaman, sehingga yang tersisa adalah hadits Aisyah radhiallahu 'anhu yang menyebutkan lima kali susuan, wallahu ta‘ala a‘lam. 
Al-Imam Asy-Syafi‘I rahimahullahu berkata: “Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman kecuali lima kali susuan yang terpisah.” (Al-Umm, 5/26). Demikian pula yang dikatakan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (10/9). 
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu dalam Al-Mughni (7/535) juga memberikan pernyataan yang hampir sama ketika menjelaskan ucapan Abul Qasim Al-Khiraqi: “Penyusuan yang tidak diragukan dapat menyebabkan pengharaman (seperti apa yang haram karena nasab –pent.) adalah lima kali penyusuan atau lebih.” 
Dan bentuk satu kali penyusuan tersebut adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting seorang wanita sampai puas/kenyang lalu ia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari menghisap puting untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan (Al-Umm, 5/27). Sama saja menurut pendapat jumhur ulama, baik air susu itu dihisap langsung oleh si bayi dari kedua payudara ibu susunya atau telah diperas sehingga si bayi meminumnya dari gelas misalnya, sekalipun ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang membatasi hanya air susu yang dihisap langsung dari payudara dengan berpegang pada makna menyusu secara bahasa. Namun pendapat jumhur ulama lebih kuat karena yang penting air susu itu dapat menutupi rasa lapar dan mengisi usus, bagaimana pun cara si bayi meminum air susu tersebut. (Lihat Fathul Bari, 9/148, Al-Muhalla, 10/7)

Ragu tentang jumlah penyusuan
Apabila seseorang ragu tentang jumlah penyusuan, apakah telah sempurna lima kali penyusuan sehingga menjadi haram seperti yang haram karena hubungan nasab ataukah belum, maka kata Ibnu Qudamah rahimahullahu: “Tidaklah ditetapkan keharaman tersebut karena dikembalikan kepada hukum asal.5 Sementara keraguan tidaklah dapat menghilangkan keyakinan sebagaimana bila seseorang ragu telah jatuh talak (cerai) atau tidak maka kembali pada hukum asal tidak ada talak.” (Al-Mughni, 7/537)

Susu hewan
Apabila seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang bukan mahram minum dari susu seekor kambing (yang sama), sapi ataupun unta maka tidaklah hal ini teranggap sebagai satu penyusuan, kata Al-Imam Asy-Syafi‘i rahimahullahu. Namun hal ini hanyalah seperti makanan dan minuman biasa, dan tidak terjalin hubungan mahram antara kedua anak tersebut, karena yang demikian hanya berlaku untuk air susu manusia bukan air susu hewan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ
“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…” 
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعُنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَة 
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.”
(Al-Umm, 5/26)

1 Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat dua tahun enam bulan, Zufar yang berpendapat tiga tahun dan Al-Imam Malik dalam satu riwayat berpendapat dua tahun ditambah beberapa hari. (Syarah Shahih Muslim, 10/30)
2 Penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram dan menghalalkan khalwat adalah ketika anak yang disusui itu masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya.

3 Yaitu hadits: فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ
4 Insya Allah akan dijelaskan.
5 Hukum asalnya tidak ditetapkan keharaman seperti yang diharamkan dalam hubungan nasab, yakni tidak haram untuk menjalin pernikahan. Dan juga tidak halal apa yang halal karena hubungan nasab seperti tidak halal berkhalwat, dst
Menyusui anak yang sudah besar/dewasa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, penyusuan itu kapan saja terjadi walau hanya sekali, maka ditetapkan hukumnya berdasarkan kemutlakan yang disebutkan dalam ayat. Akan tetapi As-Sunnah memberikan batasan lima kali susuan, sebelum anak itu disapih, karena penyusuan sebelum penyapihanlah yang memberi pengaruh hingga menumbuhkembangkan tubuh. Dengan demikian tidaklah teranggap penyusuan yang kurang dari lima susuan dan tidaklah teranggap penyusuan ketika telah besar. Namun sebagian orang membantah hal ini dengan kisah Salim maula Abu Hudzaifah, di mana sebelumnya Abu Hudzaifah ini mengangkat Salim sebagai anak. Ketika Salim telah besar, istri Abu Hudzaifah merasa keberatan Salim masuk ke rumahnya. Maka ia pun minta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda: أَرْضِعِيْهِ تَحْرُمِي عَلَيْهِ “Susuilah Salim, niscaya engkau akan menjadi haram baginya (karena telah menjadi ibu susunya).” Lalu bagaimana menjawab hal ini? Sebagian ulama menjawab bahwa hal ini merupakan kekhususan bagi Salim. Sebagian ulama yang lain mengatakan hal ini mansukh (dihapus hukumnya/tidak berlaku lagi). Sebagian ulama mengatakan, masalah penyusuan ketika telah besar, hukumnya umum dan jelas tidak terhapus. Pendapat inilah yang benar, akan tetapi hukum umumnya dikhususkan terhadap orang yang keadaannya seperti Salim maula Abu Hudzaifah. Kami tidak mengatakan hukum ini mansukh (terhapus) karena di antara syarat menetapkan mansukhnya suatu hukum adalah adanya pertentangan dengan perkara lain dan tidak mungkin mengumpulkan perkara-perkara yang saling bertentangan tersebut, di samping adanya pengetahuan mana yang paling akhir dari perkara-perkara itu. Kami pun tidak mengatakan hukum ini khusus (bagi Salim) karena tidak didapatkan satu hukum dalam syariat Islam yang khusus berlaku untuk satu orang selama-lamanya, namun yang ada hanyalah pengkhususan sifat hukum tersebut, karena syariat itu adalah makna-makna yang umum dan sifat-sifat yang umum yakni hukum-hukum syariat berkaitan dengan makna-makna dan sifat-sifat bukan dengan individu-individu. Dengan demikian tertolaklah bila dikatakan hukum ini khusus bagi seseorang yang bernama Salim dan tidak meliputi orang yang berada dalam makna hukum ini. Dengan demikian, seandainya ada orang yang mengambil seorang anak angkat sehingga anak tersebut sudah seperti anaknya sendiri, bebas keluar masuk menemui keluarganya dan mereka pun menganggapnya seperti bagian dari mereka, (padahal anak angkat itu sudah besar), istri orang ini pun terpaksa menyusui anak angkat tersebut agar ia tetap bisa keluar masuk menemui mereka, maka kami katakan boleh wanita tadi menyusui anak angkat tersebut. Namun hal seperti ini di waktu sekarang tidak mungkin terjadi karena syariat telah membatalkan hukum mengangkat anak (tidak boleh lagi ada anak angkat yang kemudian dinasabkan kepada ayah angkatnya1). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسآءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ “Hati-hati kalian masuk menemui para wanita (yang bukan mahram).” Mereka menjawab: “Ya Rasulullah, apa pendapatmu dengan ipar ?” Beliau menjawab: “Ipar adalah kematian.” Seandainya ada penyusuan ketika telah besar niscaya Rasulullah akan mengatakan: “Ipar itu hendaklah disusui oleh istri saudara laki-lakinya,” hingga ia bisa masuk menemui istri saudara laki-lakinya tersebut. Akan tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memberikan pengarahan dan bimbingan yang demikian itu. Dengan begitu diketahuilah setelah dibatalkannya hukum anak angkat, penyusuan ketika telah besar tidak mungkin didapatkan lagi.” (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/409-410). 1 Lihat majalah Asy Syariah No. 09/I/1425 H, hal. 74




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Mahram, Perkara yang Diabaikan



Mahram, Perkara yang Diabaikan
Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah
Sakinah, Wanita Dalam Sorotan, 24 - Oktober - 2004, 03:16:23


Perselingkuhan dengan ipar, perzinaan dengan saudara sepupu, adalah sebagian peristiwa yang sudah banyak terjadi di sekitar kita. Mengapa terjadi demikian? Ini tak lain dikarenakan hukum syariat telah dilanggar dan diabaikan. Berduaan dengan kerabat non mahram, menampakkan aurat di depannya, dsb, merupakan perbuatan-perbuatan yang tanpa sadar sering lakukan dengan menjadikan hubungan kekerabatan sebagai tameng.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
((لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ))
“Tidak boleh seorang wanita bepergian (safar) sejauh perjalanan tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1086, 1087 dan Muslim no. 1338) 
Pernah pula beliau bersabda: 
(( لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ و مَعهاَ ذُوْ مَحْرَمٍ))
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341) 
Kata mahram yang disebutkan dalam dua sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas sering kita dengar, yang oleh kebanyakan orang di negeri kita ini disebut dengan istilah muhrim (istilah yang lebih tepat untuk menunjukkan orang yang berihram untuk haji atau umrah). Namun demikian, meski kata ini acap didengar, seringkali disebut, tetapi tidak dimengerti oleh sebagian besar orang. Terbukti, dua titah Rasul yang agung di atas jauh dari pengamalan. Entah karena tidak memahami apa itu mahram, entah karena tidak mengetahui adanya titah yang agung ini, atau mereka tahu namun tak peduli, wallahul musta’an. 
Berkaitan dengan ini, syariat yang mulia menetapkan keharaman bagi seorang wanita untuk menampakkan perhiasannya kecuali di hadapan kerabatnya yang diistilahkan dengan mahram ini, karena :
(( اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ))
“Wanita itu adalah aurat.” (HR. At-Tirmidzi no. 1882. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)
Namun, sekali lagi apa yang dikehendaki syariat agar wanita berhijab di hadapan laki-laki selain mahramnya banyak diabaikan oleh para muslimah dan wali-wali mereka pun tak ambil peduli. 

Apakah Mahram Itu?
Mahram adalah keluarga dekat dari kalangan pria yang tidak halal baginya menikahi si wanita, seperti anak laki-laki (wanita tersebut), ayahnya, saudara laki-lakinya, pamannya, dan orang yang semisal mereka. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1/373)
Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah membawakan definisi mahram menurut para ulama, yakni laki-laki yang diharamkan menikahi si wanita selama-lamanya dengan sebab yang mubah karena hubungan mahram2. (Fathul Bari, 4/94)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Mahram adalah laki-laki yang diharamkan untuk menikahi seorang wanita (tertentu) selama-lamanya.” (Hijabul Mar’ah Al-Muslimah wa Libasuha fish Shalat, hal. 18)

Siapakah Mahram Kita?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Tanzil-Nya :
﴿ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوْ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوْ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴾. 
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam ayat yang mulia di atas, dinyatakan bahwa selain di hadapan suami, dibolehkan pula bagi seorang wanita untuk menampakkan perhiasannya di hadapan ayahnya, ayah suaminya (ayah mertua), putranya, putra suaminya, saudara laki-lakinya, putra saudara laki-lakinya (keponakan laki-laki), atau putra saudara perempuannya. Mereka yang disebutkan ini adalah mahram bagi si wanita. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/295)
Bila dirinci, mahram-mahram yang tersebut dalam ayat di atas adalah sebagai berikut: 
1. Ayah, ayahnya ayah/ibu (kakek), kakek buyut (datuk), dan seterusnya ke atas.
2. Ayahnya suami (mertua), kakek suami baik dari pihak ayah ataupun pihak ibu dan terus ke atas.
3. Anak laki-laki, cucu laki-laki baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan, cicit laki-laki dan terus ke bawah.
4. Anak laki-laki suami, cucu laki-laki suami baik dari anak laki-lakinya maupun dari anak perempuannya, dan terus ke bawah.
5. Saudara laki-laki, baik sekandung, ataupun seayah atau seibu. 
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan laki-laki), anak laki-laki dari keponakan laki-laki (cucu) dan terus ke bawah.
7. Anak laki-laki dari saudara perempuan (keponakan), anak laki-laki dari keponakan tersebut (cucu) dan terus ke bawah. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/154)
Dengan perincian di atas berarti: 
- Seorang ayah adalah mahram bagi putrinya, seorang kakek adalah mahram bagi cucu perempuannya, dst.
- Ayah mertua adalah mahram bagi istri anak laki-lakinya (menantunya), kakek mertua adalah mahram bagi istri cucu laki-lakinya, dst.
- Anak laki-laki adalah mahram bagi ibunya, cucu laki-laki adalah mahram bagi neneknya, dst.
- Anak laki-laki suami adalah mahram bagi ibu tirinya3, cucu laki-laki suami adalah mahram bagi nenek tirinya, dst. 
- Saudara laki-laki adalah mahram bagi saudara perempuannya, baik yang sekandung, seayah saja ataupun seibu saja.
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) adalah mahram bagi ‘ammah-nya (bibi/saudara perempuan ayah), anak laki-laki dari keponakan laki-laki (cucu keponakan) adalah mahram bagi saudara perempuan kakeknya, dst. 
- Anak laki-laki dari saudara perempuan (keponakan) adalah mahram bagi khalah-nya (bibi/saudara perempuan ibu), anak laki-laki dari keponakan tersebut (cucu) mahram bagi saudara perempuan neneknya, dst.
Mahram lainnya adalah: 
• ‘Ammi (paman/saudara laki-laki ayah) dan khal (paman/saudara laki-laki ibu) merupakan mahram bagi keponakan perempuannya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
﴿ولا تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إلا ما قد سلف, إنه كان فاحشة و مقتا و سآء سبيلا. حرمت عليكم أمهاتكم و بناتكم و أخواتكم و عماتكم و خالاتكم و بنات الأخ و بنات الأخت و أمهاتكم اللاتي أرضعنكم و أخواتكم من الرضاعة و أمهات نسائكم و ربائبكم اللاتي في حجوركم من نسائكم اللاتي دخلتم بهن فإن لم تكونوا دخلتم بهن فلا جناح عليكم و حلائل أبنائكم الذين من أصلابكم و أن تجمعوا بين الأختين إلا ما قد سلف. إن الله كان غفورا رحيما﴾. 
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri) kecuali pada masa yang telah lampau (sebelum datangnya larangan ini) karena sesungguhnya perbuatan menikahi ibu tiri itu amatlah keji, dibenci, dan sejelek-jelek jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu), dan menghimpunkan dua wanita yang bersaudara dalam pernikahan, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 22-23)
Dalam ayat di atas, Allah mengharamkan seorang paman untuk menikahi keponakan perempuannya, sama saja baik keponakannya itu putri dari saudara laki-laki-lakinya ataupun saudara perempuannya. Ini menunjukkan bahwa paman termasuk mahram, yang menurut pendapat jumhur ulama, paman disamakan dengan mahram lain dalam kebolehan memandang perhiasan yang dikenakan seorang wanita sebatas yang dibolehkan bagi mahram lainnya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/155)
Yang menguatkan hal ini adalah hadits Aflah, paman ‘Aisyah radhiallahu 'anha karena susuan. ‘Aisyah radhiallahu 'anha mengabarkan:
أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْس جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَليهَا وَ هُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابِ , فَأَبَيْتُ أَنْ آذِنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللهِ صلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آذِنَ لَهُ. 
Aflah, saudara Abul Qu’ais4 pernah datang meminta izin untuk bertemu dengannya setelah turunnya perintah berhijab. Dan Aflah ini adalah paman ‘Aisyah karena susuan. ‘Aisyah berkata: ‘Aku pun menolak untuk mengizinkannya. Ketika datang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , aku ceritakan kepada beliau tentang apa yang kuperbuat, maka beliau memerintahkan aku untuk mengizinkan Aflah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5103 dan Muslim no. 1445) 
Dalam riwayat Muslim, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((لاَ تَحْتَجِبِي مِنْهُ, فَإِتَّهُ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ))
“Janganlah engkau berhijab darinya, karena menjadi haram dengan sebab penyusuan apa yang haram karena hubungan nasab.” (Shahih, HR. Muslim no. 1445)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan wajibnya wanita berhijab dari laki-laki ajnabi (non mahram) dan disyariatkan bagi mahram untuk minta izin ketika masuk menemui wanita yang merupakan mahramnya.” (Fathul Bari, 9/184)
Dalam surat An-Nisa di atas, dapat kita pahami bahwa wanita-wanita yang haram dinikahi karena hubungan mahram selain ibu, anak perempuan, saudara perempuan, ‘ammah (bibi/saudara ayah), khalah (bibi/saudara ibu) dan keponakan perempuan (putri dari saudara laki-laki/perempuan), termasuk pula ibu susu, saudara perempuan sepersusuan, ibu mertua, putri tiri (anak perempuan dari istri yang telah dicampuri) dan menantu perempuan (istri dari anak kandung). Mengenai ibu susu dan saudara sepersusuan akan dibicarakan dalam pembahasan tersendiri. Sedangkan mengenai ibu mertua, putri istri, dan menantu perempuan sebagai berikut: 
• Ibu mertua dengan suami putrinya (menantu) memiliki hubungan mahram hingga ibu mertua ini haram dinikahi oleh menantu tersebut selama-lamanya dengan semata-mata dilangsungkannya akad antara si menantu dengan putri ibu tersebut5, menurut pendapat jumhur ulama, sama saja apakah setelah itu istrinya ia gauli ataupun belum. Sehingga seorang lelaki bila bercerai dengan istrinya walaupun istri tersebut belum sempat ia gauli, ibu mertuanya tetap sebagai mahramnya, haram untuk dinikahinya. Diriwayatkan pendapat ini dari Ibnu Mas‘ud, ‘Imran bin Hushain, Masruq, Thawus, ‘Ikrimah, ‘Atha, Al-Hasan, Mak-hul, Ibnu Sirin, Qatadah dan Az-Zuhri. Dan ini merupakan pendapat imam yang empat dan fuqaha yang tujuh serta jumhur fuqaha yang dulu maupun yang belakangan. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/482)
• Anak perempuan istri dari suami yang lain (anak tiri). Ia tidaklah haram untuk dinikahi oleh ayah tirinya hingga ayah tirinya itu telah bercampur (jima) dengan ibunya. Dengan demikian bila ayah tiri itu menceraikan ibunya sebelum bercampur (jima’) maka boleh baginya menikahi putri bekas istrinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/481, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/70)
• Istri dari anak laki-laki (menantu) dan ayah si anak laki-laki (mertua) memiliki hubungan mahram sehingga haram terjalin pernikahan antara keduanya, namun dengan ketentuan menantu itu adalah istri dari anak laki-laki kandung. Adapun bila anak tersebut adalah anak angkat maka istrinya tidaklah haram dinikahi oleh ayah angkat suaminya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 
﴿وَ مَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ﴾
“Dan Dia tidaklah menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian.” (Al-Ahzab: 4)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 
﴿و حلائل أبنائكم الذين من أصلابكم﴾
Yakni Allah mengharamkan kalian menikahi istri-istri dari anak-anak laki-laki kalian yang dilahirkan dari sulbi kalian (anak kandung), sehingga dikecualikan dari larangan ini istri dari anak angkat yang dulunya di masa jahiliyyah mereka anggap sebagai anak, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 
﴿فلما قضى زيد منها وطرا زوجناكها لكيلا يكون على المؤمنين حرج في أزواج أدعيائهم إذا قضوا منهن وطرا﴾ 
“Maka tatkala Zaid6 telah menyelesaikan urusannya dengan istrinya (menceraikan Zainab bintu Jahsyin, istrinya), Kami nikahkan engkau dengan Zainab agar tidak ada keberatan bagi orang-orang beriman untuk menikahi istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istri-istrinya tersebut (menceraikan istri-istri tersebut).” (Al-Ahzab: 37) [Tafsir Ibnu Katsir, 1/483)] 
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. 
(bersambung)

2 Dengan definisi ini, seorang suami bukanlah mahram bagi saudara perempuan istrinya (ipar), walaupun suami tersebut haram menikahi iparnya selama ia belum bercerai dengan istrinya. Adapun yang diharamkan selama-lamanya dalam syariat hanyalah mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam pernikahan. Sedangkan keharaman menikahi ipar tidaklah berlaku selama-lamanya. Bila si suami telah berpisah dengan istrinya (cerai atau ditinggal mati) dibolehkan baginya untuk menikahi iparnya tersebut. 
Disebutkan dalam definisi di atas bahwa mahram itu terjalin dengan sebab yang mubah yaitu dengan pernikahan ataupun penyusuan. Dikecualikan dari definisi di atas, bekas istri yang pernah dituduh berzina oleh suaminya tanpa bukti/ saksi hingga keduanya harus mendatangkan sumpah dan mendoakan laknat untuk diri masing-masing. Bekas istri tersebut haram untuk dinikahinya selama-lamanya namun bukan karena hubungan mahram, tapi sebagai hukuman bagi keduanya. (Kitab Al-Fatawa, Al-Imam Nawawi, masalah 223)
Catatan: Jika seorang suami menuduh istrinya berzina dengan laki-laki lain, imam (pimpinan/penguasa negeri) memanggil keduanya dan meminta bukti dari tuduhan tersebut. Bila si suami tidak bisa mendatangkan bukti dan saksi mata, maka ia memberikan persaksian dengan sumpah: “Demi Allah, sungguh aku termasuk orang-orang yang benar”. Ia ucapkan sumpah ini sebanyak 4 kali dan pada kali yang kelima ia berkata: “Laknat Allah atasku jika aku termasuk orang-orang yang berdusta.” Si istri yang tertuduh (bila ia tidak menerima tuduhan tersebut/ia memungkirinya) juga mengucapkan sumpah sebanyak empat kali: “Demi Allah,sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang berdusta.” Pada kali yang kelima ia berkata: “Kemurkaan Allah akan menimpaku jika ia termasuk orang-orang yang benar (dalam tuduhannya)”. Setelah itu keduanya dipisah dan tidak halal untuk bersatu kembali dalam pernikahan selama-lamanya (lihat Al-Muhalla, 9/331). Inilah yang diistilahkan dengan li’an, dan hukumnya disebutkan dalam Al Qur’an, Surat An-Nur: 6-9.

3 Dengan demikian diharamkan bagi anak tiri menikahi ibu tirinya sepeninggal ayahnya ataupun ketika ayahnya masih hidup karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri) kecuali pada masa yang telah lampau (sebelum datangnya larangan ini) karena sesungguhnya perbuatan menikahi ibu tiri itu amatlah keji, dibenci dan sejelek-jelek jalan yang ditempuh.” (An-Nisa: 22)

4 Abul Qu’ais ini adalah suami ibu susu ‘Aisyah radhiallahu 'anha

5 Dalam masalah ini memang ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. Selain pendapat di atas, ada pula ulama yang berpendapat bahwa ibu mertua tidaklah haram dinikahi kecuali bila si menantu telah bercampur (jima’) dengan putrinya (istri) sehingga jima’ menjadi syarat dalam keharaman tersebut. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari ‘Ali, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Mujahid dan Sa’id bin Jubair. Namun yang benar, kata Ibnul Mundzir, jima’ bukanlah syarat. Wallahu a’lam.

6 Zaid bin Haritsah radhiallahu 'anhu dulunya merupakan anak angkat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga sempat dipanggil dengan Zaid bin Muhammad sampai akhirnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat:
﴿وَ مَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذلكم قولكم بأفواهكم و الله يقول الحق و هو يهدي السبيل. ادعوهم لأبآئهم هو أقسط عند الله . فإن لم تعلموا أبآءهم فإخوانكم في الدين و مواليكم﴾
“Dan Dia tidaklah menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian.” (Al-Ahzab: 4-5) [Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi, 1/487]


Adakah Mahram Sementara?


Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Ada seorang wanita tinggal bersama saudara perempuannya yang telah menikah, dan ia tidak berhijab dari iparnya. Bila ditegur karena perbuatannya itu, ia menjawab bahwa iparnya adalah mahram sementara baginya. Karena selama saudara perempuannya masih berstatus sebagai istri dari iparnya, maka tidak boleh iparnya menikahinya. Bagaimana tanggapan Syaikh terhadap hal ini? 
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjawab: “Wanita ini memiliki syubhat (kerancuan) yaitu tidak boleh bagi iparnya untuk menikahinya selama saudara perempuannya masih berstatus sebagai istri dari iparnya tersebut. Dengan demikian, ia (menurut pemahaman wanita itu) merupakan mahram bagi iparnya sampai waktu tertentu. Akan tetapi pemahaman wanita ini salah karena wanita yang haram dinikahi oleh seorang lelaki hanya dalam batas waktu/ keadaan tertentu, bukanlah mahram bagi lelaki tersebut. 
Pengertian mahram itu sendiri adalah wanita-wanita yang haram dinikahi seorang lelaki selama-lamanya karena hubungan nasab atau karena sebab yang mubah seperti kekerabatan yang terjalin lewat hubungan pernikahan dan lewat penyusuan. 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki:
﴿ولا تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إلا ما قد سلف, إنه كان فاحشة و مقتا و سآء سبيلا. حرمت عليكم أمهاتكم و بناتكم و أخواتكم و عماتكم و خالاتكم و بنات الأخ و بنات الأخت و أمهاتكم اللاتي أرضعنكم و أخواتكم من الرضاعة و أمهات نسائكم و ربائبكم اللاتي في حجوركم من نسائكم اللاتي دخلتم بهن. فإن لم تكونوا دخلتم بهن فلا جناح عليكم و حلائل أبنائكم الذين من أصلابكم و أن تجمعوا بين الأختين إلا ما قد سلف. إن الله كان غفورا رحيما﴾.
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri) kecuali pada masa yang telah lampau (sebelum datangnya larangan ini) karena sesungguhnya perbuatan menikahi ibu tiri itu amatlah keji, dibenci dan sejelek-jelek jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian), maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu) dan menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 22-23)
Dalam ayat di atas, Allah mengharamkan seorang laki-laki mengumpulkan dua wanita yang bersaudara sebagai istri. Dan Allah tidak mengatakan bahwa yang diharamkan adalah menikahi saudara-saudara perempuan istri (ipar), sehingga saudara perempuan istri tidaklah haram selama-lamanya bagi lelaki tersebut. (Diringkas dari Fatawa Al-Haram, 1408 H, hal. 288-292)




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

langgeng.js
© 2009-2018