Showing posts with label islam.aqidah. Show all posts
Showing posts with label islam.aqidah. Show all posts

Thursday, March 12, 2009

Islam tak Menghalalkan Segala Cara



Islam tak Menghalalkan Segala Cara
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc
Headline, Manhaji, 07 - Maret - 2009, 06:09:00


Telah berlalu suatu masa yang diabadikan dalam sejarah sebagai masa jahiliah. Umat manusianya dilanda krisis keimanan dan haus akan siraman rohani. Perilakunya menyimpang dari norma-norma luhur dan agama yang suci. Lorong-lorong kehidupannya pun dikotori sampah-sampah kesyirikan dan kemaksiatan. Sementara pelita keimanan dan rambu-rambu akhlak mulia telah lama redup (di tengah mereka) bahkan tak menyisakan satu cahaya. Tak heran bila corak kehidupannya adalah persembahan ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, kebejatan akhlak dan dekadensi moral. Betapa pengap dan gelapnya lorong-lorong kehidupan di masa itu, sehingga membuat dada setiap orang yang melaluinya sesak lagi sempit. 
Di kala umat manusia terenyak bingung dalam kegelapan dan kepengapan tersebut, terbitlah mentari kenabian Muhammad bin Abdullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bercahayakan Islam (dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala), menyinari segala kegelapan dan menghilangkan segala kepengapan dengan pancaran iman dan akhlak mulia yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ. يَهْدِي بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (Al-Qur’an). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 15-16)
Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah agama yang sempurna dan paripurna (tuntas). Syariatnya yang senantiasa relevan sepanjang masa benar-benar menyinari segala sudut kehidupan umat manusia. Tak hanya wacana keilmuan semata yang dipancarkannya, misi tazkiyatun nufus (penyucian jiwa) dari berbagai macam akhlak tercela (amoral) pun berjalan seiring dengan misi keilmuan tersebut dalam mengawal umat manusia menuju puncak kemuliaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. وَءَاخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Jumu’ah: 2-3)

Kewajiban Menyambut Agama Islam
Cahaya Islam yang terang-benderang dan syariatnya yang sempurna ini, amat dibutuhkan umat manusia sepanjang masa. Terbukti, orang-orang yang menyambutnya dan istiqamah di atasnya sangat berbeda keadaannya dengan orang-orang yang enggan atau bahkan berkesumat benci terhadapnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 
أَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Maka apakah orang-orang yang Allah lapangkan dadanya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (Az-Zumar: 22)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Apakah sama orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lapangkan dadanya untuk (menyambut) agama Islam, siap menerima dan menjalankan segala hukum yang dikandungnya dengan penuh kelapangan, bertebar sahaja, dan di atas kejelasan ilmu (inilah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “ia mendapat cahaya dari Rabbnya”), sama dengan selainnya?! Yaitu orang-orang yang membatu hatinya terhadap Kitabullah, enggan mengingat ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan berat hatinya untuk menyebut (nama) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan kondisinya selalu berpaling dari (ibadah kepada) Rabbnya dan mempersembahkan (ibadah tersebut) kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Merekalah orang-orang yang ditimpa kecelakaan dan kejelekan yang besar.” (Taisir Al-Karimirrahman hal. 668) 
Maka dari itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mewasiatkan kepada para hamba-Nya agar masuk ke dalam agama Islam secara total (kaffah) dan menyambut seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana firman-Nya l:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah: 208)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (Al-Anfal: 24)
Di antara misi Islam yang didakwahkan kepada umatnya adalah menanamkan sikap selektif dalam memilih mata pencaharian (yang merupakan bagian dari prinsip tazkiyatun nufus). Islam tak menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan semuanya diatur sedemikian rupa demi kebahagiaan mereka baik di dunia maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah: 168)

Fenomena Mengais Rezeki
Dunia mengais rezeki mengoleksikan aneka macam orang yang bergumul di sekeliling aneka macam mata pencaharian. Di antara mereka ada yang berpandangan bahwa waktu adalah uang. Ambisinya untuk menumpuk harta amat besar, sehingga segenap waktu dan umurnya hanya dipergunakan untuk mengais rezeki. Tak ayal, bila kesibukannya itu kemudian melalaikannya dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala (dzikrullah), shalat lima waktu maupun kewajiban lainnya. Tidakkah mereka ingat akan ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala: 
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang serta dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat dari perbuatan mereka itu).” (Al-Hijr: 3)
Di antara mereka pun ada orang-orang yang gelap mata dan buta hati dalam mengais rezeki. Mereka tak lagi memerhatikan mana yang halal dan mana yang haram, sehingga nyaris jiwa dan raganya serta keluarganya tumbuh berkembang dari harta syubhat bahkan dari harta haram. Manakala diingatkan, tak jarang dari lisannya terlontar ungkapan kekesalan: “Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal!” Wallahul musta’an.
Namun demikian, di antara mereka masih ada orang-orang baik yang tak terlalaikan dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ. لِيَجْزِيَهُمُ اللهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Orang-orang dari kaum lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi bergoncang (hari kiamat). (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan, dan supaya Allah menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (An-Nur: 37-38)
Adapun mata pencaharian yang mereka geluti; ada yang halal, ada yang syubhat, dan ada pula yang haram. Yang halal dicari, sedangkan yang syubhat dan yang haram wajib ditinggalkan. Di antara jenis yang haram adalah riba dengan segala bentuknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ. يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ. الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri (ketika dibangkitkan dari kuburnya, pen.) melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, disebabkan mereka (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Allah, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), urusannya (terserah) Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni An-Nar; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah. Dan Allah tidak suka terhadap orang yang tetap di atas kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, merekalah orang-orang yang mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tiada kekhawatiran pada diri mereka dan tiada (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian benar-benar orang yang beriman. Jika kalian masih keberatan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok (modal) harta; kalian tidaklah menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 275-279)
Demikian pula memakan harta orang lain dengan cara yang batil, terkhusus dalam arena jual beli atau yang selainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku di atas asas saling meridhai di antara kalian.” (An-Nisa’: 29)
Perjudian dengan sekian modelnya pun demikian adanya, menjadi jalan pintas ‘mengais rezeki’ yang haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari perbuatan itu).” (Al-Ma’idah: 90-91)
Tak ketinggalan pula praktik penipuan, suap-menyuap, dan sejenisnya, yang terkadang demi meluluskan keinginan bejatnya itu ditempuh jalur hukum, dalam kondisi pelakunya sadar bahwa ia sedang berbuat aniaya terhadap sesamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)

Belajar Dari Sebuah Fenomena
Berangkat dari fenomena di atas, patutlah dicamkan oleh setiap insan muslim bahwa mengais rezeki yang halal merupakan kewajiban setiap insan muslim. Sebagaimana pula mencari rezeki dengan cara syubhat atau haram merupakan perbuatan yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, ketidaksabaran seseorang akan tempaan dan ujian yang menimpanya seringkali menjerumuskannya dalam murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka dari itu, sangatlah penting bagi setiap muslim untuk mengimani bahwa rezeki itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala Dzat Yang Maha Pemberi Rezeki (Ar-Razzaq), yang kepunyaan-Nya lah seluruh perbendaharaan langit dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Kepunyaan-Nya lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Asy-Syura: 12)
Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang keluasan kasih sayang-Nya membentangkan segala kemudahan bagi para hamba-Nya untuk mencari rezeki dan karunia-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
“Dan Kami jadikan siang untuk mencari sumber penghidupan.” (An-Naba’: 11)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat (Jum’at), maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah karunia (rezeki) Allah, dan ingatlah selalu kepada Allah agar kalian beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10)
Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Menentukan rezeki tersebut (dengan segala hikmah dan keilmuan-Nya) atas segenap makhluk-Nya, sesuai dengan bagiannya masing-masing. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
“Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (An-Nahl: 71) 
Demikianlah keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala Ar-Razzaq (Dzat Yang Maha Pemberi Rezeki) dengan segala kekuasaan-Nya. Maka sudah seyogianya bagi setiap insan muslim untuk bersabar dan tidak putus asa dalam mencari rezeki yang halal di tengah krisis ekonomi dan keterpurukan moral dewasa ini. Sebagaimana pula ia harus selalu bersyukur manakala usahanya (yang halal) membuahkan hasil sesuai harapan. Karena semua itu tak lepas dari kebijaksanaan dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala Dzat Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana. 
Tak kalah pentingnya, hendaknya setiap insan muslim menjadikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini sebagai prinsip utama dalam segala upaya mencari rezeki. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْـمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْـمُرْسَلِيْنَ. فَقَالَ: {ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ }. فَقَالَ: {ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ }. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ، أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِِِ إِلَى السَّمَاءِ. يَا رَبِّ، يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟ 
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik (Suci), tidaklah menerima kecuali sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada para Rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Hai para Rasul makanlah dari segala sesuatu yang baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.’ (Al-Mukminun: 51) Dia juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman makanlah dari segala sesuatu yang baik, yang telah Kami rizkikan kepada kalian.’ (Al-Baqarah: 172) Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan jauh (safar), dalam kondisi rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi oleh debu, lalu menengadahkan tangannya ke langit (seraya) berdoa: Ya Rabbi! Ya Rabbi! sementara makanannya dari hasil yang haram, minumannya dari hasil yang haram, pakaiannya pun dari hasil yang haram dan (badannya) tumbuh berkembang dari hasil yang haram. Maka mana mungkin doanya akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala?!” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, hadits no. 1015 ) 
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Seorang laki-laki (yang disebutkan dalam hadits di atas, pen.) mempunyai empat kriteria (mulia): 
Pertama: Bahwasanya dia sedang melakukan perjalanan (safar) yang jauh, dan safar merupakan salah satu momentum dikabulkannya sebuah doa. 
Kedua: Rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi oleh debu… Ini juga merupakan salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa. 
Ketiga: Menengadahkan tangannya ke langit. Ini pun merupakan salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa. 
Keempat: Dia berdoa dengan menyeru: Ya Rabbi! Ya Rabbi! yang merupakan tawassul dengan kekuasaan (rububiyyah) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini pun salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa. 
Namun ternyata doanya tak dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena makanannya dari hasil yang haram, pakaiannya dari hasil yang haram, dan (badannya) pun tumbuh berkembang dari hasil yang haram.” (Diringkas dari Syarh Al-Arbain An-Nawawiyyah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu) 
Subhanallah … Betapa besarnya pengaruh makanan, minuman, dan pakaian yang didapat dengan cara haram bagi kehidupan seseorang. Doa dan permohonannya tak lagi didengar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu, kemanakah dia akan mengadukan berbagai problematikanya?! Dan kepada siapakah dia akan meminta perlindungan dan pertolongan?! 
Betapa meruginya dia… Betapa sengsaranya dia… Manakala Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam ini telah berlepas diri darinya. Adakah yang mau mengambil pelajaran?!
Wallahu a’lam bish-shawab.




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Saturday, December 20, 2008

Menelan Pahitnya Ujian dalam Beraqidah, Untuk Kemuliaan Hidup yang Hakiki



Menelan Pahitnya Ujian dalam Beraqidah, Untuk Kemuliaan Hidup yang Hakiki
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak
Syariah, Akidah, 19 - Desember - 2008, 10:23:16


Semua orang tidak pernah menduga dan mengharapkan adanya gangguan dan rintangan yang menghalangi jalan hidupnya kecil maupun besar, sedikit maupun banyak, dan ringan ataupun berat. Terlebih di saat dia ingin bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengemban tugas di mana dia diciptakan untuk itu, berharap tidak ada yang akan mengganggu, menyakiti, dan mencelanya. Hanya saja itu semua sekadar harapan dan keinginan. Sunnatullah telah mendahului harapan dan keinginannya bahkan telah mendahului penciptaan kita, sunnatullah yang tidak akan berubah dan berganti. Catatan hidup di lauhil mahfudz tidak akan mengalami pergantian dan perombakan, sebuah ketetapan yang pasti terjadi: 
إِنَّ اللهَ قَدَّرَ مَقَادِيرَ الْخَلْقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Sesungguhnya Allah telah menentukan seluruh takdir makhluk lima ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653 dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anahuma)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al-Hajj: 70)
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)
Sunnatullah yang telah memastikan adanya ujian dan cobaan bagi orang yang melaksanakan syariat dan mengikuti kebenaran. Dengan ujianlah akan nampak orang yang benar-benar jujur dan orang yang berdusta.
الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-'Ankabut: 1-3)
Saudaraku, camkan kalimat-kalimat ini:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Dan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menentukan bahwa setiap orang yang mengatakan dan mengaku dirinya beriman, akan selalu berada dalam satu kondisi, selamat dari ujian dan cobaan dan tidak datang menghampirinya segala perkara yang akan mengganggu iman dan segala cabangnya. Jika hal itu terjadi (artinya orang-orang yang mengaku beriman tidak diuji, pent.) tentu tidak bisa dipisahkan antara orang yang jujur dan orang yang berdusta, serta antara orang yang benar dan orang yang salah. Sungguh sunnatullah telah berjalan dalam kehidupan orang-orang terdahulu dari umat ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji mereka dengan kesenangan, malapetaka, kesulitan, kemudahan, segala yang disenangi dan tidak disenangi, kaya dan fakir, kemenangan musuh dalam sebagian kondisi, memerangi mereka dengan ucapan dan perbuatan, serta berbagai ujian lainnya. Segala bentuk ujian ini kembali kepada: ujian syubuhat yang akan mengempas aqidah, dan syahwat yang akan menodai keinginan. Barangsiapa yang ketika datang fitnah syahwat, imannya tetap kokoh dan tidak goncang, maka kebenaran yang ada pada dirinya menghalau fitnah tersebut. Ketika datang fitnah syahwat dan segala seruan kepada perbuatan maksiat dan dosa, dorongan untuk berpaling dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dia berusaha mengaplikasikan konsekuensi iman dan bertarung melawan syahwatnya. Ini menunjukkan kejujuran dan kebenaran imannya. 
Namun barangsiapa yang ketika fitnah syubhat datang memengaruhi hatinya dengan memunculkan keraguan dan kerancuan, dan ketika fitnah syahwat menghampirinya lalu dia terseret pada perbuatan maksiat atau mendorongnya untuk meninggalkan kewajiban, ini menunjukkan tidak jujur dan tidak benarnya iman yang ada pada dirinya." (As-Sa’di dalam Tafsir-nya hal. 576) 

Surga dan Ujian
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.“ (Al-Baqarah: 214)
Tidak ada seorangpun yang pernah membayangkan jika ternyata surga beriringan dengan ujian dan rintangan besar, banyak lagi berat. Tempat kenikmatan yang hakiki dan abadi diliputi dengan perkara-perkara yang tidak menyenangkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini menegaskan: 
حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
“Neraka diliputi oleh berbagai macam syahwat dan surga diliputi oleh berbagai macam perkara yang tidak disukai.” (HR. Al-Bukhari no. 6006 dan Muslim no. 2823 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu)

Hijrah ke Habasyah, Simbol Kekejaman Musyrikin
Para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum yang telah mendapatkan kemuliaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan di akhirat –bahkan sebagiannya mendapatkan jaminan masuk surga– juga tidak luput dari berbagai ujian. Menggali perjalanan hidup mereka akan mendapatkan buah yang matang lagi harum dan lezat. Meski untuk bisa memetiknya harus melangkahi duri-duri nan tajam dan jurang yang curam lagi berbahaya. Selain itu, bila hati sedang hidup ketika menggali perjalanan hidup mereka, niscaya mata ini akan berlinangan air mata. 
Hijrah pertama kali ke Habasyah merupakan salah satu usaha untuk meringankan beban yang mereka hadapi di saat mengikrarkan diri sebagai pemeluk agama baru yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Puncak dari keberingasan dan kekejaman mereka rasakan, sehingga mereka menginginkan ketentraman dan ketenangan dalam menjalankan ajaran agama baru tersebut. Mereka mencari tempat yang akan mengantarkan mereka kepada ketenangan dalam beragama. Lalu terisyaratlah negeri asing: Habasyah. 
Mulai tahun keempat dari kenabian, kekejaman kaum kafir kian hari bertambah dan memuncak. Sampai kemudian pada tahun kelima dari kenabian beliau, bertepatan dengan bulan Rajab, dengan penuh rahasia di waktu malam, mereka keluar menuju laut dan menyewa dua perahu. Mereka lalu berlayar menuju negeri yang telah diisyaratkan. Mereka yang berhijrah berjumlah 12 orang pria dan empat wanita. Rombongan dipimpin oleh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anahu. Mereka mendapatkan ketentraman dan ketenangan hidup di negeri hijrah. Namun akankah ujian itu berakhir?
Berita Makkah menghebohkan para muhajirin ini di saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan kalam ilahi (surat An-Najm) di Baitullah Al-Haram. Mereka mengira bahwa kafir Quraisy telah memeluk agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata sekembalinya ke negeri kelahiran, dugaan itu meleset. Orang-orang kafir menjadikan kembalinya mereka ini sebagai momen emas untuk melampiaskan keberingasan dan kekejamannya. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan kepada para sahabatnya untuk melakukan hijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Hijrah yang kedua ini menghadapi kesulitan dan risiko yang hebat. Karena kaum kafir Quraisy berjaga dan bersiap-siap menghadang perjalanan mereka. Namun semuanya ada di tangan Yang Maha Kuasa. Tiada sedikitpun mereka bisa berbuat seperti yang mereka rencanakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki yang lain. Hijrah kedua kalinya ini terdiri dari 83 orang pria dan 18 atau 19 orang wanita. Tidak berhenti sampai di sini ujian menimpa mereka. Di negeri hijrah, kafir Quraisy telah merancang berbagai macam makar agar Najasyi menyerahkan kaum muslimin kepada mereka. Beberapa bentuk hadiah mereka kirim beserta dua ahli hujjah (ahli debat) Quraisy, ‘Amr bin Al-’Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah sebelum keduanya masuk Islam. Namun sungguh tipu daya mereka tidak bisa mengalahkan bantuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kaum mukminin ketika itu. (Lihat Fathul Bari 7/215 dan Ar-Rahiqul Makhtum hal. 67-70)
Di atas ujian ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji mereka dari atas tujuh lapis langit. Pujian semerbak yang tidak akan bisa ditukar oleh apapun juga. Mereka membeli surga dengan kesabaran dan ketabahan mereka dalam menghadapi segala risiko beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menukar surga dengan pengorbanan yang besar, lahir dan batin. 
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami, membawa kebenaran.’ Dan diserukan kepada mereka: ‘Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan’.” (Al-A'raf: 43)
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (Az-Zukhruf: 72)
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Baqarah: 207)
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111)
Demikianlah. Surga didapatkan dengan berbagai macam ujian dan cobaan, rintangan, dan gangguan. Asy-Syaikh As-Sa'di rahimahullahu mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan, malapetaka, dan kesulitan sebagaimana telah Dia lakukan atas orang-orang sebelum mereka. Ujian ini merupakan sunnatullah yang terus berlangsung, tidak akan berubah dan berganti. Barangsiapa yang melaksanakan ajaran agama dan syariat-Nya, pasti Dia akan mengujinya. Jika dia bersabar atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak peduli dengan segala rintangan yang terjadi di jalan-Nya, maka dialah orang jujur yang telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Dan itulah jalan menuju sebuah kepemimpinan. Namun barangsiapa menjadikan ujian dari manusia bagaikan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti dia terhalangi untuk melaksanakan ketaatan karena gangguan tersebut, menghalanginya dari meraih tujuannya, maka dia berdusta dalam pengakuan keimanan. Karena iman bukan sekadar hiasan, angan-angan, dan pengakuan. Amallah yang akan membenarkan atau mendustakannya.” 
Semua ini menuntut agar kita memiliki kesiapan untuk menerima berbagai macam ujian dengan bermacam-macam bentuk dan kadarnya. Terkadang sebuah perkara sangat tidak disukai oleh diri kita, ternyata mengandung kebaikan yang banyak. Seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya: 
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216) [Lihat Bahjatun Nazhirin 1/184]
Orang yang beriman tidak lagi memiliki pilihan melainkan bersabar terhadap malapetaka yang menimpanya dan bersyukur jika ujian tersebut berbentuk kesenangan dan kegembiraan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ 
“Sangat mengherankan urusan orang-orang yang beriman di mana semua urusannya adalah baik dan hal itu tidak didapati melainkan oleh orang yang beriman. (Yaitu) apabila dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur; maka itu adalah kebaikan bagiannya. Dan apabila ditimpa malapetaka, dia bersabar; maka itu adalah sebuah kebaikan bagiya.” (HR. Muslim no. 2999 dari sahabat Abu Yahya Suhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anahu)

Aqidah, Pondasi Kesabaran, dan Kesabaran Pondasi Keberhasilan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di kota Makkah selama 13 tahun, memperbaiki kerusakan aqidah dan moral. Dengan keuletan dan keberanian beliau menghadapi segala tantangan dan risiko, serta pengorbanan yang tidak terhitung, akhirnya beberapa orang dengan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala masuk ke dalam agama yang dibawanya. Di antaranya istri beliau Ummul Mukminin Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anaha, maula beliau Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi radhiyallahu ‘anahu, anak paman beliau ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anahu, dan teman dekat beliau, Abu Bakr radhiyallahu ‘anahu. Mereka masuk Islam di awal permulaan dakwah. Setelah itu Abu Bakr ikut andil memegang amanat yang besar ini. Melalui tangannya, masuk Islamlah ‘Utsman bin ‘Affan Al-Umawi radhiyallahu ‘anahu, Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiyallahu ‘anahu, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anahu, Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anahu, dan Thalhah bin Ubaidillah At-Taimi radhiyallahu ‘anahu. 
Demikianlah perjalanan dakwah kepada aqidah yang benar. Tidak semudah apa yang dibayangkan. Tugas yang menuntut pengorbanan besar dan tidak sedikit. Usaha dakwah kepada aqidah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebabkan mereka bersabar menghadapi berbagai macam ujian di atas Islam. Dengan kesabaran dan keuletan serta keikhlasan, orang yang mendapatkan hidayah hari demi hari kian bertambah, baik dari kalangan budak atau orang merdeka. Seperti Bilal bin Rabah Al-Habsyi radhiyallahu ‘anahu, Amin (kepercayaan) umat ini Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anahu, Abu Salamah bin Abdul Asad radhiyallahu ‘anahu, Arqam bin Abi Arqam radhiyallahu ‘anahu, ‘Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anahu dan dua saudara beliau, Qudamah radhiyallahu ‘anahu dan Abdullah radhiyallahu ‘anahu, ‘Ubaidah bin Al-Harits radhiyallahu ‘anahu, Sa’id bin Zaid Al-’Adawi radhiyallahu ‘anahu dan istrinya Fathimah radhiyallahu ‘anaha saudari ‘Umar bin Al-Khaththab, Khubbab bin Art radhiyallahu ‘anahu, Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzali radhiyallahu ‘anahu, dan selain mereka. Mereka masuk agama tauhid dengan penuh rahasia. Hal itu terjadi karena keberingasan dan kekejaman kafir Quraisy terhadap siapa saja yang menganut agama baru yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
Pondasi aqidah yang mereka pijak melahirkan keikhlasan, kesabaran, keberanian, kesungguhan dalam mengemban amanat Ilahi. Dengan semuanya itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencatat kemuliaan bagi mereka di dunia dan di akhirat. Mereka mendapatkannya dengan ujian yang susul-menyusul. (lihat dengan ringkas dengan beberapa tambahan Ar-Rahiqul Makhtum hal. 53)

Bersabarlah, Engkau Akan Mulia
Mereka telah berlalu dengan ujian mulai dari awal mengikrarkan ketauhidan sampai ajal menjemput. Itulah sunnatullah yang pasti terjadi dan ketetapan yang tidak akan berubah. Bila engkau bersabar, maka kemuliaan, keberhasilan, dan kemenangan di pengujung kehidupan menanti.
قُلْ يَاعِبَادِ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman bertakwalah kepada Rabbmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
إِنَّكُمْ سَتَلَقَّوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلَقَّوْنِي عَلىَ الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian akan menjumpai sikap mengutamakan kepentingan pribadi, maka bersabarlah kalian sampai kalian berjumpa denganku di Al-Haudh (telaga).” (HR. Al-Bukhari no. 3508 dan Muslim no. 1845 dari sahabat Abu Yahya Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anahu)
‘Alqamah berkata (ketika menjelaskan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan barangsiapa beriman kepada Allah niscaya Dia akan menunjukinya.” (Ath-Thaghabun: 11): “Dia adalah seseorang yang ditimpa musibah dan mengetahui kalau itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia ridha dan menerima.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan telah diriwayatkan sepertinya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anahu)
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu berkata: “Kami menjumpai kebagusan hidup dengan kesabaran.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu secara mu‘allaq dan Al-Imam Ahmad rahimahullahu dengan sanadnya dalam kitab Az-Zuhd hal. 117 dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari, 11/303). Wallahu a’lam.




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

langgeng.js
© 2009-2018