Friday, February 20, 2009

Isti'dzan (lagi tentang anak)



Isti'dzan
Penulis: Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Anisah Bintu 'Imran
Sakinah, Permata Hati, 09 - April - 2006, 09:04:05


Kakak memperkosa adik gara-gara sering melihat adegan mesra orang tuanya, memang bukan berita baru lagi. Namun satu hal yang pasti, itu semua jelas membuat kita prihatin. Sudah demikian rusakkah moral anak-anak kita? Atau jangan-jangan kita tidak pernah menyadari, bahwa kita sendiri juga turut “menciptakan” fantasi kotor anak-anak kita, selain tentu saja film atau klip porno melalui VCD atau handphone?

Mendidik dan membesarkan anak tentu penuh liku-liku dan punya seluk-beluk tersendiri. Sehingga, orang tua mesti memiliki andil dalam berbagai sisi kehidupan si anak. Mulai pemeliharaan kesehatan badannya, menanamkan akidah yang benar, membiasakan akhlak yang mulia, hingga menjaga kebersihan jiwa seorang anak.
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya, karena Islam adalah agama yang bersih, yang menjaga agar angan-angan, akal, hati dan lisan anak senantiasa dalam keadaan bersih. Di antara sekian banyak hal yang harus dilakukan untuk menjaga kebersihan jiwa seorang anak, ada satu hal yang teramat sering dilupakan orang tua. Padahal permasalahan ini diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Kitab-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْعِشَاءِ ثَلاَثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلاَ عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلآيَاتِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. وَإِذَا بَلَغَ اْلأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak laki-laki dan wanita yang kalian miliki dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali, yaitu sebelum shalat subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian di tengah hari, dan setelah shalat ‘Isya. Itulah tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu. Mereka melayani kalian, sebagian ada keperluan atas sebagian yang lainnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat ini bagi kalian, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha sempurna hikmah-Nya. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nur: 58-59)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum mukminin agar budak-budak yang mereka miliki dan anak-anak yang belum ihtilam (baligh) meminta izin kepada mereka pada tiga keadaan. Pertama, sebelum shalat subuh, karena pada saat itu orang-orang tengah tidur di pembaringan mereka; kedua, ketika kalian menanggalkan pakaian di tengah hari, yaitu pada waktu tidur siang (qailulah), karena pada saat itu terkadang seseorang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya; ketiga, setelah shalat ‘Isya, karena ini adalah waktu tidur. Karena itulah para budak maupun anak-anak diperintahkan agar mereka tidak masuk menemui ahlul bait tanpa izin pada keadaan-keadaan ini. Sebab dikhawatirkan, saat itu seseorang sedang berada dalam posisi di atas istrinya (jima’, red.) atau hal-hal semacam itu. (Tafsir Ibnu Katsir 5/427)
Umumnya, pada waktu-waktu ini seseorang bersama istrinya tengah menanggalkan pakaiannya, karena ini adalah waktu-waktu jima’. Maka orang tua diperintahkan untuk mengajari anak-anak mereka yang telah mumayyiz yang belum mencapai usia baligh (ihtilam) untuk meminta izin kepada mereka pada waktu-waktu ini. Karena terkadang seorang anak ketika masuk menemui orang tuanya mendapati mereka dalam keadaan yang tidak semestinya dilihat, seperti menanggalkan pakaian, jima’, atau yang lainnya. Kemudian si anak keluar, sementara di benaknya telah tergambar pemandangan yang dilihat dari ibu atau ayahnya hingga mengotori pikirannya. Dia pun berupaya mencari cara untuk mempraktekkan apa yang dilihatnya. Hingga bisa jadi dia praktekkan dengan tetangga atau teman wanitanya. Bahkan dengan saudara perempuannya, terutama dalam rumah yang tak terjaga dan yang tempat tidur anak laki-laki dan perempuannya tidak dipisah. Maka sangat mungkin anak laki-laki yang tidur di sisi saudara perempuannya dalam keadaan dia telah melihat pemandangan yang begitu menggelorakan dari ayah dan ibunya, kemudian melakukannya bersama saudara perempuannya. Sesungguhnya setan sangat menginginkan kerusakan, hingga terkadang setan menuntunnya menuju kerusakan dan kehinaan bersama saudara perempuannya. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal.148-149)
Pada ketiga keadaan inilah para budak dan anak-anak kecil seperti orang lain, tidak diperkenankan masuk tanpa izin. Adapun pada selain ketiga keadaan ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلاَ عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ (Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu).
Mereka tidak seperti yang lainnya, karena penghuni rumah itu senantiasa membutuhkan mereka, sehingga sulit bagi mereka bila harus meminta izin pada setiap waktu. Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ (Mereka melayani kalian, sebagian ada keperluan atas sebagian yang lainnya) Mereka keluar masuk menemui kalian untuk meringankan kesibukan dan menunaikan kebutuhan kalian. (Taisirul Karimir Rahman, hal.573-574)
Inilah ayat Allah yang muhkamat dan tidaklah terhapus ayat ini hingga hari ini. Namun sangat disayangkan, perintah yang agung ini banyak dilupakan. Sampai-sampai Abdullah ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma mengatakan:

لَمْ يُؤْمِنْ بِهَا أَكْثَرُ النَّاسِ آيَةُ الإِذْنِ، وَإِنِّي لآمُرُ جَارِيَتِي هَذِهِ تَسْتَأْذِنُ عَلَيَّ

“Satu ayat yang kebanyakan orang tidak mengimaninya, yaitu ayat tentang izin. Dan sungguh aku memerintahkan budak perempuanku ini untuk meminta izin kepadaku.” Abu Dawud berkata: Demikianlah ‘Atha` meriwayatkannya dari Ibnu ‘Abbas, bahwa beliau memerintahkan hal ini. (HR .Abu Dawud no. 5191, dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahihul isnad mauquf)
Suatu ketika Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma pernah ditanya penduduk Iraq, “Wahai Ibnu ‘Abbas, bagaimana pandanganmu tentang ayat yang diperintahkan kepada kami, namun tidak diamalkan oleh seorang pun, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْعِشَاءِ ثَلاَثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلاَ عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلآيَاتِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. وَإِذَا بَلَغَ اْلأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak laki-laki dan wanita yang kalian miliki dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali, yaitu sebelum shalat subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian di tengah hari, dan setelah shalat ‘Isya. Itulah tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu. Mereka melayani kalian, sebagian ada keperluan atas sebagian yang lainnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat ini bagi kalian, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha sempurna hikmah-Nya. Dan apabila anak-anak-mu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An Nur: 58-59)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma menjawab:

إِنَّ اللهَ حَلِيْمٌ رَحِيْمٌ بِالْمُؤْمِنِيْنَ يُحِبُّ السَّتْرَ، وَكَانَ النَّاسُ لَيْسَ لَِبُيُوْتِهِمْ سُتُوْرٌ وَلاَ حِجَالٌ، فَرُبَّمَا دَخَلَ الخَادِمُ أَوِ الوَلَدُ أَوْ يَتِيْمُهُ وَالرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ، فَأَمَرَ اللهُ بِاْلإِسْتِئْذَانِ فِي تِلْكَ العَوْرَاتِ، فَجَاءَهُمُ اللهُ بِالسُّتُوْرِ وَالخَيْرِ، فَلَمْ أَرَ أَحَدًا يَعْمَلُ بِذَلِكَ بَعْدُ

“Sesungguhnya Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang terhadap kaum mukminin, Dia mencintai tabir. Sementara orang-orang dahulu, rumah-rumah mereka tidak memiliki tabir ataupun penutup, sehingga terkadang budak, anak atau anak yatimnya masuk dalam keadaan seseorang sedang berada di atas istrinya. Maka Allah memerintahkan untuk meminta izin pada waktu-waktu aurat tersebut. Namun kemudian Allah datangkan pada mereka tabir dan kebaikan, sehingga setelah itu aku tidak melihat seorang pun mengamalkannya.” 1(HR. Abu Dawud no. 5192, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasanul isnad mauquf)
Demikian pula Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu membawakan riwayat yang sanadnya sampai kepada Asy-Sya’bi rahimahullahu tentang firman Allah: لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ (hendaklah budak laki-laki dan wanita yang kalian miliki meminta izin kepada kalian).
Asy Sya’bi rahimahullahu mengatakan, “Ayat ini tidak dihapus.” Aku (Musa bin Abi ‘Aisyah) pun berkata, “Sesungguhnya orang-orang tidak mengamalkannya.” Beliau menjawab, “Allahul musta’an (hanya Allah-lah yang dimintai pertolongan).” (Tafsir Ath-Thabari 9/346)
Demikianlah satu hal yang tak boleh diremehkan orang tua dalam mendidik anak-anaknya, agar tumbuh dirinya dalam keadaan bersih hingga menuai keberuntungan di dunia dan di akhirat. Selayaknya orang tua memperhatikan dan menerapkannya dalam keseharian. 
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

1 Disebutkan dalam riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas c:

ثُمَّ جَاءَ اللهُ بَعْدُ بِالسُّتُوْرِ فَبَسَطَ اللهُ عَلَيْهِمُ الرِّزْقَ فَاتَّخَذُوا السُّتُوْرَ وَاتَّخَذُوا الْحِجَالَ، فَرَأَى النَّاسُ أَنَّ ذَلِكَ قَدْ كَفَّاهُمْ مِنَ اْلاِسْتِأْذَانِ الَّذِي أُمِرُوا بِهِ

“Setelah itu Allah mendatangkan tirai dan Allah luaskan rizki untuk mereka, maka merekapun membuat tirai dan penutup. Maka orang-orang memandang bahwa hal itu mencukupi mereka dari isti`dzan yang diperintahkan untuk mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Katsir menyatakan: “Ini adalah sanad yang shahih sampai Ibnu ‘Abbas.”) [Tafsir Ibnu Katsir, 3/315, cetakan Darul Ma’rifah, Beirut)
Abu Bakr Al-Jashshash mengatakan: “Dalam riwayat tersebut, Ibnu ‘Abbas memberitakan bahwa perintah untuk meminta izin dalam ayat ini terkait dengan suatu sebab. Sehingga, ketika sebab itu tidak ada, maka hukum itu pun tidak berlaku. Ini menunjukkan, beliau tidak berpendapat bahwa ayat tersebut mansukh dan bahwa bila sebab yang semacam itu muncul lagi maka hukum itu pun akan berlaku.” (Ahkamul Qur`an, 3/330)
Lihat pula penjelasan yang semakna dalam ‘Aunul Ma’bud (14/99, cetakan Maktabah Ibnu Taimiyyah) dan Tafsir Al-Qurthubi (12/303). –ed



Kebaikanku Untukmu

Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Anisah Bintu 'Imran

Ketika melihat seorang anak yang berperangai buruk, tak jarang orang berkata: Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pepatah ini menggambarkan bahwa keadaan seorang anak (utamanya dalam hal watak) biasanya tak beda jauh dengan keadaan orang tuanya. Barangkali memang ada benarnya. Di dalam syariat Islam juga diterangkan bahwa amalan yang biasa dikerjakan orang tua, entah baik atau buruk, sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak-anaknya. Karenanya, orang tua dianjurkan untuk banyak melakukan amal shalih agar bisa menular kepada anak-anaknya.

Setiap orang tua yang mendambakan anak-anaknya menjadi anak yang shalih selayaknya tak hanya memfokuskan perhatian pada tingkah laku anak-anaknya semata. Semestinya dia juga tidak melalaikan dirinya. Dia akan membiasakan dan menyibukkan dirinya dengan amalan-amalan yang baik, karena kebaikan yang dia lakukan akan membuahkan kebaikan bagi sang anak di dunia dan di akhirat kelak. Sebaliknya, dia akan berupaya menjauhi perbuatan-perbuatan buruk, karena hal itu akan menimbulkan pengaruh buruk dalam perjalanan mendidik anak-anaknya. 
Terkadang bentuk balasan amalan orang tua terwujud pada diri anak-anaknya, baik dalam bentuk kebaikan si anak, penjagaan, kelapangan rizki serta kesehatan mereka, ataupun dalam bentuk penyimpangan mereka, musibah, penyakit dan segala problem yang menimpa mereka. Oleh karena itulah orang tua harus memperbanyak amalan shalihah hingga dampaknya pun mengalir pada diri anak-anaknya.
Perbuatan baik yang dilakukan orang tua akan berbuah barakah dan balasan yang baik dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini tercermin dalam kisah yang terabadikan dalam Al-Qur`an, tatkala Nabiyullah Musa 'alaihissalam bersama Nabiyullah Khidhir 'alaihissalam mendatangi suatu daerah dan meminta penduduknya agar menjamu mereka. Namun penduduk di daerah itu menolak. Lalu mereka berdua mendapati di situ ada sebuah dinding yang miring hampir roboh. Nabi Khidhir 'alaihissalam pun memperbaikinya hingga membuat Nabi Musa 'alaihissalam keheranan dan mengatakan, “Seandainya engkau mau, engkau bisa meminta upah dari mereka.”
Ternyata inilah jawaban dari peristiwa yang mengherankan itu:

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلاَمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوْهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

“Adapun dinding itu milik dua orang anak yatim di kota ini dan di bawahnya tersimpan harta milik mereka berdua, sementara ayah mereka adalah seorang yang shalih. Maka Rabbmu menghendaki mereka berdua mencapai usia dewasa dan mengeluarkan harta simpanan itu sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82)
Keadaan kedua anak yatim itu menimbulkan perasaan iba dan kasih sayang terhadap mereka, karena mereka adalah dua orang anak kecil yang tak memiliki ayah. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga mereka berdua karena kebaikan ayah mereka. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 483)
Kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala ini menunjukkan bahwa seorang yang shalih akan terjaga keturunannya dan barakah ibadahnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat nanti dengan adanya syafaat orang yang shalih itu bagi keturunannya, serta diangkat derajat anak keturunannya itu hingga mencapai derajat paling tinggi di dalam surga, agar menyenangkan hati orang shalih tersebut, sebagaimana hal ini pun dijelaskan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Sa’id bin Jubair rahimahullahu meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, “Mereka berdua dijaga dengan sebab keshalihan ayah mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/141)
Di samping itu, orang tua harus menjaga makanan, minuman dan pakaian yang dikenakannya. Hal ini jelas memiliki pengaruh pada keshalihan anak, karena orang tua tak lepas dari doa kebaikan bagi anak-anak mereka. Dengan demikian, dia menadahkan tangan untuk memohon kebaikan anak-anak mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan tangan yang bersih dan jiwa yang suci, hingga terkabul permohonannya.

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan orang-orang yang bertakwa.” (Al-Ma`idah: 27)
Tentang hal ini, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu menyampaikan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ. فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِن الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ. وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik, dan Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman apa yang Dia perintahkan terhadap para rasul. Allah berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik-baik dan berbuatlah amalan shalih, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui segala yang kalian perbuat.’ Dan Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik yang Kami rizkikan kepada kalian.’ Kemudian beliau menyebutkan tentang seseorang yang menempuh perjalanan panjang dalam keadaan kusut masai rambutnya dan berdebu, menadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku!’, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan disuapi dengan sesuatu yang haram. Bagaimana bisa dikabulkan doanya?” (HR. Muslim no. 1015)
Diriwayatkan, salah seorang dari kalangan Salaf berkata kepada anaknya:

يَا بُنَيَّ، لأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ

“Wahai anakku, sungguh aku akan memperbanyak shalatku karenamu.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa maknanya: Aku akan shalat sebanyak mungkin dan berdoa sebanyak mungkin dalam shalatku. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 22)
Sisi lain pentingnya amalan shalih orang tua bagi anak, anak yang senantiasa melihat orang tuanya melaksanakan ketaatan dan kebaikan akan mendapati teladan yang baik. Anak akan mencontoh perbuatan baik yang dilakukan orang tuanya, hingga dia pun akan terbiasa melakukannya. Sebaliknya, anak yang biasa menyaksikan perbuatan-perbuatan mungkar yang dilakukan orang tuanya akan terbiasa dengan hal itu dan dia pun akan mencontoh perbuatan mungkar itu pula. Wal ‘iyadzu billah!
Selain itu pula, amalan shalih orang tua akan membuahkan pujian orang terhadap si anak. Apabila orang memuji dan menyebut-nyebut kebaikan yang dilakukan orang tua di hadapan si anak, anak pun akan besar jiwanya dan termotivasi untuk turut melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Sementara amalan buruk akan menggiring celaan dan hinaan orang terhadapnya. Apabila seorang anak mendengar orang-orang menjulukinya dengan julukan jelek maupun mencelanya karena perbuatan ayahnya, hal ini pun nantinya akan mempengaruhi dan merusak jiwa anak.
Tak hanya di dunia buah kebaikan itu dapat diraih, bahkan di akhirat pun anak akan menuai kebaikan karena keshalihan orang tuanya. Demikian yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَالَّذِيْنَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, akan Kami pertemukan anak keturunan mereka itu dengan mereka dan Kami tidak mengurangi pahala amalan mereka sedikit pun. Setiap orang terikat dengan apa yang diusahakannya.” (Ath-Thur: 21)
Dalam firman-Nya ini Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang keutamaan-Nya, kedermawanan-Nya, anugerah-Nya, kelembutan-Nya terhadap makhluk-makhluk-Nya serta kebaikan-Nya, bahwa orang-orang yang beriman apabila anak keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mempertemukan anak keturunan itu dengan ayah mereka yang shalih, walaupun amalan anak keturunan itu tidak bisa menyamai amalan ayah mereka, untuk menyenangkan hati ayah mereka dengan adanya anak keturunan itu di sisinya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menghimpun mereka dalam bentuk yang paling baik, dengan mengangkat derajat orang yang kurang sempurna amalannya di sisi orang yang sempurna amalannya, tanpa mengurangi pahala amalan dan derajat orang yang sempurna amalannya tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/332)
Demikian pulalah doa para malaikat yang memikul 'Arsy dan para malaikat yang di sekeliling 'Arsy bagi orang-orang yang beriman:

رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga `Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang shalih dari kalangan ayah-ayah mereka, istri-istri mereka dan anak-anak mereka.” (Ghafir: 8)
Para malaikat itu memohon, kumpulkanlah di antara mereka untuk menyenangkan hati mereka dengan mempertemukan mereka pada tempat-tempat yang berdampingan. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/98)
Dengan begitu, layaklah kiranya setiap orang tua mempersiapkan segala amalan shalih yang tak hanya membawa kebaikan bagi dirinya. Namun lebih dari itu, kebaikan itu pun akan merambah pada anak keturunannya di dunia dan di akhirat. 
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

langgeng.js
© 2009-2018