Saturday, February 14, 2009

Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam



Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam
Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
Syariah, Ibrah, 22 - Februari - 2007, 17:10:29


Di antara nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah dua keutamaan: Kebaikan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah, Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah seorang pemuda yang sangat tampan, dan secara batiniah beliau memiliki akhlak yang sangat mulia. Dengan dua hal ini, Nabi Yusuf ‘alaihissalam senantiasa bersabar ketika menjalani ujian-ujian yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala, termasuk ketika digoda oleh wanita cantik dari kalangan bangsawan.

Kisah ini adalah kisah paling menakjubkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkannya secara lengkap dan memaparkannya dalam satu surat khusus secara terperinci dan jelas. Membaca surat ini saja sudah cukup sehingga tidak butuh penafsiran. Dan dalam surat ini (Surat Yusuf), Allah Subhanahu wa Ta'ala menguraikan keadaan Nabi Yusuf ‘alaihissalam mulai dari awal hingga akhir kisah. Lengkap dengan peralihan tempat kejadian, pergantian situasi dan keadaan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي يُوْسُفَ وَإِخْوَتِهِ آيَاتٌ لِلسَّائِلِيْنَ

“Sesungguhnya ada beberapa tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf: 7)
Akan kami sebutkan beberapa faedah penting yang disimpulkan dari sejarah besar ini. Dengan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kami memulainya.

Beberapa Pelajaran Penting dari Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam
Kisah ini merupakan kisah yang paling baik dan jelas. Di dalamnya dipaparkan berbagai peralihan dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya; dari satu ujian ke ujian berikutnya, dan dari sebuah ujian kepada karunia yang besar, dari kehinaan kepada derajat kemuliaan, dari rasa aman kepada rasa takut dan sebaliknya, dan seterusnya. Maha Suci Allah yang telah menceritakan hal ini dan menjadikannya sebagai pelajaran berharga bagi mereka yang bisa menggunakan akalnya. Di antara pelajaran tersebut adalah:
1. Diterangkan dalam kisah ini berbagai landasan pokok tentang ta’bir atau tafsir mimpi. Ilmu ta’bir mimpi ini adalah ilmu yang cukup penting yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Dan umumnya, hal-hal yang berkaitan serta dijadikan permisalan (tamtsil) dan penyerupaan adalah tentang sifat atau keadaan.
Dengan demikian, maka sisi keterkaitan mimpi Nabi Yusuf ‘alaihissalam, di mana beliau melihat matahari, bulan dan sebelas bintang bersujud kepadanya adalah sebagai berikut: Semua ini adalah benda-benda yang menghiasi langit, yang mempunyai berbagai manfaat. Begitu pula halnya para nabi, ulama, orang-orang pilihan, mereka adalah perhiasan di muka bumi. Dengan perantaraan mereka, seseorang akan terbimbing dalam kehidupannya di bumi sebagaimana dia terbimbing pula dengan cahaya dari langit (angkasa raya).
Ayahnya (Nabi Ya’qub ‘alaihissalam) dan ibunya adalah sumber (asal), sedangkan saudara-saudaranya adalah cabang (furu’). Maka sangat sesuai jika bentuk dan cahaya asal atau sumber lebih besar daripada cabang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa matahari atau bulan adalah permisalan bagi ayah atau ibunya. Bintang-bintang menggambarkan saudara-saudaranya. Dan menyangkut hal ini, bahwa orang yang bersujud menunjukkan penghormatannya kepada yang dia sujudi. Dan yang menerima sujud ini, dia diagungkan lagi dihormati. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjadi seorang yang diagungkan dan dihormati oleh kedua ibu bapaknya serta saudara-saudaranya.
Namun hal ini tidak akan sempurna kecuali dengan beberapa pendahuluan yang menggiring kepada semua perkara ini. Di antaranya adalah ilmu dan amalan serta sebagai pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:

وَكَذلِكَ يَجْتَبِيْكَ رَبُّكَ

“Dan demikianlah Rabbmu, telah memilihmu.” (Yusuf: 6)
Terkait dengan mimpi kedua pemuda yang dipenjara bersama Nabi Yusuf ‘alaihissalam, beliau menta’birkan (menafsirkan) mimpi seorang di antara mereka yang memeras anggur. Dan ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan pekerjaan ini biasanya adalah pelayan bagi orang lain. Juga kenyataan bahwa perasan anggur itu untuk orang lain, sedangkan pelayan biasanya mengikuti yang dilayani. Atau dapat pula ditakwilkan memeras anggur di sini dengan memberi minum, yang juga menunjukkan pelakunya adalah pelayan bagi orang lain. Oleh sebab itulah beliau menakwilkannya kepada hal yang sesuai.
Adapun mimpi orang yang melihat dirinya membawa roti di atas kepalanya dan sebagiannya dimakan oleh burung, beliau menakwilkan bahwa dia akan dibunuh dan disalib sehingga burung memakan otaknya.
Lalu beliau menafsirkan mimpi Raja Mesir yang melihat beberapa ekor sapi dan butir-butir gandum sebagai masa-masa subur dan paceklik. Hubungannya adalah bahwa melalui raja itulah terikatnya segala persoalan kemaslahatan rakyat. Apabila rajanya baik maka baik pula urusan rakyat, dan apabila rajanya buruk (akhlaknya) urusan rakyatnya juga akan rusak. Inilah hubungan ketika dia melihat mimpi itu.
Apalagi tahun-tahun kesuburan dan paceklik terkait dengan keteraturan kehidupan atau tidaknya. Sapi termasuk alat untuk membajak tanah dan mengolah pertanian. Di sini terlihat adanya sebab dan akibat. Dalam mimpi itu terlihat pula 7 ekor sapi gemuk dan 7 ekor sapi kurus, 7 tangkai gandum yang hijau dan 7 tangkai yang kering. Maksudnya, tentu akan ada 7 tahun yang subur yang disusul 7 tahun kekeringan. Apa yang didapatkan dari pertanian diambil dan tidak disisakan kecuali sedikit yang mereka simpan.
Kalau dikatakan darimana diambil pengertian ayat:

ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذلِكَ عَامٌ فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيْهِ يَعْصِرُوْنَ

“Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dan di masa itu mereka memeras anggur.” (Yusuf: 49)
Karena beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa ini adalah tambahan dari Nabi Yusuf ‘alaihissalam dalam menerangkan takwil mimpi menurut wahyu yang diterimanya?
Jawabnya: Persoalannya tidaklah demikian. Sesungguhnya perkataan tersebut juga diucapkan berdasarkan mimpi raja itu. Karena masa-masa kekeringan hanya 7 tahun. Ini menunjukkan akan datang sesudahnya tahun-tahun kesuburan penuh keberkahan, yang akan menghapus kekeringan yang terjadi pada masa paceklik yang tidak dapat terhapus oleh masa-masa subur yang biasa. Namun hanya akan hilang dengan masa subur yang luar biasa keadaannya. Ini sangat jelas dan termasuk mafhum al-’adad (dikaitkannya suatu hukum dengan jumlah tertentu, ed).
2. Di dalamnya terdapat dalil atau bukti tentang kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu dengan diceritakannya sejarah ini secara terperinci dan panjang lebar kepada beliau sesuai kenyataan, yang mempunyai maksud dan tujuan yang jelas. Padahal beliau tidak (bisa) membaca kitab orang-orang terdahulu. Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah belajar kepada seorangpun, sebagaimana yang jelas diketahui oleh kaumnya. Beliau sendiri adalah seorang ummi, tidak pandai membaca dan menulis. Sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ذلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوْحِيْهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ أَجْمَعُوا أَمْرَهُمْ وَهُمْ يَمْكُرُوْنَ

“Demikian itu di antara berita ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), padahal kamu tidak berada di sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya dan mengatur tipu daya.” (Yusuf: 102)
3. Sepantasnya seorang manusia menjauhi faktor-faktor atau jalan yang mendorongnya kepada kejahatan. Dan hendaknya dia menyembunyikan hal-hal yang dikhawatirkan menimbulkan kemudaratan bagi dirinya. Sebagaimana perkataan Nabi Ya’qub kepada Yusuf dalam kisah ini:

لاَ تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوا لَكَ كَيْدًا

“Janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka akan membuat makar terhadapmu.” (Yusuf: 5)
4. Bolehnya menerangkan sesuatu yang tidak menyenangkan kepada seseorang dengan jujur dan sebagai nasehat bagi dirinya dan orang lain yang terkait. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang ucapan Nabi Ya’qub:

فَيَكِيْدُوا لَكَ كَيْدًا

“Maka mereka akan membuat makar terhadapmu.” (Yusuf: 5)
5. Bahwa kenikmatan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada seseorang adalah nikmat pula bagi orang-orang yang berkaitan atau berhubungan dengannya, baik keluarga, kerabat, ataupun sahabat-sahabatnya. Tentunya semua itu mencakup atau meliputi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِ يَعْقُوْبَ

“Dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub.” (Yusuf: 6)
Yaitu dengan semua yang engkau terima. Oleh karena itu, ketika nikmat itu semakin sempuna dirasakan oleh Nabi Yusuf, keluarga Nabi Ya’qub juga mendapatkan kemuliaan, kekuasaan dan kegembiraan. Hilanglah hal-hal yang tidak menyenangkan yang selama ini mereka rasakan dengan munculnya hal-hal yang menyenangkan sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di akhir kisah ini.
6. Nikmat paling besar yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada manusia adalah nikmat diniyah (agama Islam). Dan semua itu harus ada sebab-sebab yang mendahuluinya serta jalan-jalan yang membawa kepada kenikmatan ini. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala –Yang Maha Memiliki hikmah dan mempunyai sunnah (aturan) yang tidak berubah– telah menetapkan bahwa cita-cita yang tinggi tidak mungkin tercapai kecuali dengan sebab yang bermanfaat. Khususnya dalam hal ini adalah ilmu bermanfaat berikut cabang-cabangnya, seperti akhlak dan perbuatan. Oleh karena itulah Nabi Ya’qub mengetahui bahwa Yusuf telah mencapai kedudukan yang mulia ini, di mana ayah ibunya serta saudara-saudaranya tunduk hormat kepadanya. Semua ini sudah tentu dengan kemudahan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada Nabi Yusuf untuk menempuh sebab atau jalan menuju derajat yang tinggi ini. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَكَذلِكَ يَجْتَبِيْكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيْلِ اْلأَحَادِيْثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ

“Dan demikianlah Rabbmu, telah memilih kamu dan mengajarkan kepadamu sebagian takwil mimpi dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu.” (Yusuf: 6)
7. Sikap adil adalah perkara yang sangat dituntut dalam setiap permasalahan. Dalam masalah hubungan penguasa dan rakyatnya, kedua orang tua dengan anak-anaknya, hak-hak para isteri, dan lain-lain yang juga berkaitan dengan hubungan kasih sayang dan itsar (mengutamakan orang lain). Menegakkan keadilan dalam setiap permasalahan ini akan berbuah keserasian semua persoalan besar dan kecil sekaligus akan mendatangkan segala sesuatu yang disenangi.
Sebaliknya, apabila keadilan itu tidak ada, jelas akan menyebabkan kerusakan dan hal-hal yang tidak menyenangkan tanpa terasa. Karena itulah ketika Nabi Ya’qub ‘alaihissalam melebihkan rasa kasih sayangnya terhadap Yusuf menimbulkan ketidaksenangan pada saudara-saudara Yusuf terhadap ayah dan saudara mereka ini.
8. Peringatan keras tentang bahayanya dosa. Betapa banyak dosa yang melahirkan dosa-dosa berikutnya. Perhatikan kejahatan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf. Mereka ingin memisahkan Yusuf dari ayahnya, dan ini adalah suatu kejahatan. Kemudian mereka melancarkan berbagai muslihat. Mereka berdusta hingga beberapa kali, misalnya dengan menunjukkan baju Nabi Yusuf yang berlumur darah palsu kepada Ya’qub. Juga ketika mereka pulang sore hari sambil menangis. Jelas bahwa ucapan-ucapan yang terdapat dalam kasus ini berantai dan berbelit-belit.
Bahkan tidak jarang hal ini berlanjut ketika mereka berkumpul dengan Yusuf dan setiap kali membahas masalah ini. Namun semuanya adalah dusta dan palsu, dengan musibah yang terus menimpa Nabi Ya’qub serta Nabi Yusuf. Maka hendaklah seorang manusia berhati-hati dari perbuatan dosa, terutama dosa yang datang susul menyusul.
Lawan dari ini semua adalah sebagian ketaatan, yang merupakan satu ketaatan, akan tetapi manfaatnya berkelanjutan. Demikian pula berkahnya. Bahkan semua ini dapat dirasakan tidak hanya oleh pelakunya, tapi juga oleh orang lain. Semua ini merupakan pengaruh paling besar dari berkah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada seseorang baik dalam ilmu dan amalannya.
9. Pelajaran berharga bagi seorang hamba bergantung kepada kesempurnaan di akhir perjalanan, bukan pada kekurangan yang ada di awalnya. Begitu pula halnya anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Terjadi berbagai kekeliruan di awal kisah kehidupan mereka. Kemudian semua itu berujung pada taubat nashuha (taubat yang benar), pengakuan yang tulus, dan pemaafan yang sempurna dari Yusuf dan ayah mereka, serta doa kebaikan dan ampunan serta rahmat bagi mereka. Kalau seorang manusia telah memberikan keringanan atau memaafkan seseorang berkaitan dengan suatu hak tertentu, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih berhak berbuat demikian. Dan Dia adalah Sebaik-baik Yang Penyayang lagi Maha Pengampun.
Oleh karena itulah yang paling benar dari semua pendapat yang ada bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka sebagai nabi dengan menghapus semua kekeliruan yang telah mereka lakukan. Seakan-akan pernyataan ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ وَاْلأَسْبَاطِ

“Dan (beriman) pula dengan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan al-asbath.” (Ali ‘Imran: 84)
Al-Asbath adalah anak-anak Ya’qub yang duabelas orang dan anak cucu mereka. Pendapat ini diperkuat dengan mimpi yang dilihat Nabi Yusuf bahwa mereka adalah bintang-bintang, yang mempunyai cahaya dan petunjuk. Semua ini adalah sifat-sifat yang juga terdapat pada diri para nabi. Seandainya mereka bukan tergolong nabi, mereka adalah para ulama di kalangan hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.
10. Dalam kisah ini diterangkan betapa besar anugerah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada Yusuf berupa ilmu, hilm (kelemahlembutan/tidak tergesa-gesa), akhlak yang mulia, berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kepada agama-Nya. Juga pemberian maaf yang segera dilakukannya terhadap saudara-saudaranya yang bersalah. Hal itu semakin lengkap ketika beliau mengatakan bahwa tidak ada cercaan atas mereka sesudah pemaafan ini. Kemudian kebajikannya yang besar kepada kedua ibu bapaknya, limpahan kebaikannya kepada saudara-saudaranya serta makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala pada umumnya. Semua ini sangat jelas tergambar dalam sejarah hidup Nabi Yusuf ‘alaihissalam.
11. Sebagian kejahatan lebih ringan dari yang lain. Menempuh suatu kemudaratan yang lebih ringan dari dua mudarat yang ada jelas lebih utama. Maka tatkala saudara-saudara Nabi Yusuf mengatakan (dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala):

اقْتُلُوا يُوْسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا

“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah.” (Yusuf: 9)
Lalu ada yang memberikan saran (dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala):

لاَ تَقْتُلُوا يُوْسُفَ وَأَلْقُوْهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِيْنَ

“Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi lemparkanlah dia ke dasar sumur supaya dipungut oleh sebagian musafir, kalau kamu hendak berbuat.” (Yusuf: 10)
Tentunya perkataan ini lebih baik dari pendapat yang lain dan lebih ringan. Sehingga berdasarkan hal ini pula menjadi ringan pula dosa mereka. Ini merupakan sebagian dari sebab atau jalan yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala takdirkan bagi Nabi Yusuf untuk mencapai derajat yang diinginkan.
12. Segala sesuatu yang diperoleh dari suatu usaha dan menjadi bagian dari harta, namun orang-orang yang mengusahakannya tidak mengetahui bahwa itu tidak dilandasi syariat, maka tidak ada dosa bagi yang langsung memperjualbelikannya, memanfaatkan, atau menggunakan untuk suatu kepentingan. Dalam kisah ini, boleh dikatakan Nabi Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya dengan cara yang (sesungguhnya) diharamkan bagi mereka. Kemudian beliau dibeli oleh sebagian musafir berdasarkan anggapan bahwa beliau adalah budak saudara-saudaranya. Setelah itu mereka membawanya ke Mesir dan menjualnya kembali.
Tinggallah beliau bersama majikannya sebagai seoang pelayan atau budak. Namun di tengah-tengah mereka, Nabi Yusuf adalah seorang pelayan yang dihormati. Allah Subhanahu wa Ta'ala menamakan jual beli yang dilakukan musafir itu muamalah, dengan alasan yang telah kami paparkan.
13. Dalam kisah ini disebutkan bahaya berkhalwat (berduaan) dengan wanita ajnabiyah (bukan isteri atau budak dan bukan mahram), khususnya wanita-wanita yang dikhawatirkan akan menjerumuskan kepada fitnah. Juga anjuran agar menjauhi perasaan cinta atau suka yang dapat menimbulkan mudarat.
Dalam kisah ini, disebutkan bagaimana isteri pembesar tersebut mengalami hal ini karena sendirian bersama Yusuf ditambah lagi rasa cinta yang demikian hebat sehingga akhirnya dia menggoda Yusuf dengan cara sedemikian rupa. Akan tetapi kemudian dia justru mengingkari bahwa dialah yang merayu Nabi Yusuf sehingga akhirnya Nabi Yusuf dipenjara untuk waktu yang lama.
14. Keinginan yang ada dalam diri Nabi Yusuf yang kemudian beliau tinggalkan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan karena bukti keimanan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala letakkan dalam hatinya, termasuk hal-hal yang menaikkan derajat beliau semakin dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena suatu keinginan adalah salah satu faktor pendorong yang timbul dari hawa nafsu yang selalu menyuruh kepada kejahatan. Ini adalah naluri atau tabiat yang ada pada anak Adam (manusia).
Maka apabila keinginan itu terlaksana dengan kemaksiatan dan tidak ada sesuatu, baik keimanan ataupun rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menghalanginya dari kemaksiatan itu, maka dia telah terjatuh kepada dosa. Dan jika seseorang itu beriman sempurna, maka keinginan naluriah ini apabila dihadapi oleh iman yang benar dan kuat, akan mencegahnya dari pengaruh yang ditimbulkan oleh keinginan tersebut, meskipun dorongan itu demikian hebat. Dan Nabi Yusuf ‘alaihissalam berada di atas tingkatan ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ

“Andaikata dia tidak melihat tanda dari Rabbnya.” (Yusuf: 24)
Hal ini ditunjukkan pula dalam ayat:

كَذلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ

“Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala mengistimewakannya, dan kekuatan iman serta keikhlasannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala melepaskan beliau agar tidak terjerumus kepada perbuatan dosa. Jelas dari kisah ini bahwa Nabi Yusuf adalah termasuk segelintir manusia yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Beliau termasuk yang paling tinggi derajatnya di antara 7 golongan dari orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala lindungi dengan naungan-Nya pada hari yang tidak ada lagi naungan selain naungan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan dalam sabda beliau bahwa salah satu dari tujuh golongan itu adalah seorang laki-laki yang dirayu oleh seorang wanita kaya dan cantik jelita, namun laki-laki itu berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.”1
Sementara keinginan wanita itu yang tidak ada yang menghalanginya, tetap mendorongnya untuk merayu Nabi Yusuf. Adapun keinginan yang muncul pada Nabi Yusuf kemudian lenyap dengan seketika setelah melihat burhan (tanda) dari Rabbnya.
15. Keimanan yang telah tertanam dalam kalbu seseorang, kemudian hati itu diterangi cahaya ma’rifat (pengenalan) dan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam segenap keadaannya. Allah Subhanahu wa Ta'alaakan menjauhkannya dari setiap kejahatan dan kekejian dengan tanda keimanannya itu. Bahkan juga menjauhkannya dari berbagai jalan kemaksiatan sebagai balasan keimanan dan keikhlasannya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan bahwa hal-hal inilah yang menjadi alasan Dia menjauhkan kejelekan dan kekejian itu dari Nabi Yusuf. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

كَذلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلِصِيْنَ

“Sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang mukhlis (berbuat ikhlas).” (Yusuf: 24)
Arti seperti ini apabila disandarkan kepada bacaan yang melafadzkan bunyi lam pada kata mukhlas dikasrah (berbunyi i), sehingga dibaca mukhlis yang artinya sebagaimana yang tercantum. Sedangkan menurut bacaan yang melafalkan lam dengan bunyi a tadi (mukhlash), artinya ialah apabila seorang hamba yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala bersihkan dan Allah Subhanahu wa Ta'ala pilih, maka tentulah dia seorang yang mukhlis, dengan demikian kedua pengertian ini saling berkaitan.
16. Apabila seseorang diuji dengan berada di tempat yang mengandung fitnah dan jalan yang membawa kepada kemaksiatan, hendaknya dia segera berupaya menghindar dan meninggalkan tempat itu semampunya agar selamat dari kejahatan tersebut. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf yang menyelamatkan dirinya menuju pintu keluar sementara wanita itu berusaha menarik bajunya dari belakang.
17. Suatu qarinah (indikasi) atau hal-hal yang mendukung dapat digunakan ketika terjadinya kesamaran dalam suatu tuduhan. Artinya, perlunya saksi dalam menentukan suatu keputusan dari suatu kasus, di mana dalam kasus Nabi Yusuf ini ditetapkan dengan adanya qarinah (tanda yang mendukung). Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنْ كَانَ قَمِيْصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ. وَإِنْ كَانَ قَمِيْصُهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ

“Jika bajunya koyak di muka, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika bajunya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf: 26-27)
Akhirnya keputusannya sesuai dengan fakta yang benar. Juga qarinah terdapatnya piala raja di dalam karung saudaranya, ketika para penjaga itu menyebutkan bahwa mereka kehilangan piala raja.
17. Dalam kisah disebutkan tentang ketampanan lahir batin yang dimiliki Nabi Yusuf. Dari ketampanan lahiriah yang dimilikinya menyebabkan tumbuhnya rasa cinta begitu hebat dalam diri wanita bangsawan itu. Dan ketika dia mendengar para wanita di kota itu mencelanya, dia mengundang mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً وَآتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّيْنًا وَقَالَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلاَّ مَلَكٌ كَرِيْمٌ

“Maka tatkala wanita itu mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau, lalu dia berkata (kepada Yusuf): ”Keluarlah kepada mereka!” Tatkala para wanita itu melihatnya, mereka kagum akan (ketampanannya), dan mereka mengiris jari mereka dan berkata: “Maha Suci Allah. Ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain adalah malaikat yang mulia.” (Yusuf: 31)
Sedangkan keindahan batin beliau, terlihat dari sikap ‘iffah (menjaga kehormatan) yang besar pada diri beliau, seiring dengan adanya dorongan yang kuat untuk terjerumus kepada kemaksiatan. Akan tetapi cahaya keimanan dan kekuatan keikhlasan yang tidak mungkin seorang mulia menyimpang dari keduanya, dan tidak mungkin terkumpul pada orang yang hina (telah menahan beliau dari semua itu).
Bahkan telah dijelaskan pula oleh isteri pembesar itu bahwa dua karakter (kecantikan lahir dan batin) ini ada pada diri Nabi Yusuf. Yakni, ketika dia memperlihatkan kepada para wanita itu kecantikan lahiriah yang diakui pula oleh mereka bahwa kecantikan ini tidak mungkin ada pada manusia, isteri pembesar itu berkata, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta'ala sebutkan dalam ayat:

وَلَقَدْ رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ فَاسْتَعْصَمَ

“Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya kepadaku, tapi dia menolak.” (Yusuf: 32)
Kemudian dia mengatakan pula sesudah perkataan itu:

اْلآنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ

“Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya kepadaku, dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf: 51)
18. Nabi Yusuf ‘alaihissalam lebih memilih dipenjara daripada terjerumus kepada kemaksiatan. Demikianlah seharusnya ketika seseorang dihadapkan kepada satu dari dua pilihan; jatuh kepada kemaksiatan atau menerima hukuman dunia. Seharusnya dia memilih hukuman duniawi yang justru di balik itu terdapat pahala dari beberapa sisi, pahala atas pilihannya terhadap keimanannya daripada keselamatan dari hukuman dunia, pahala dari segi bahwa hal ini adalah bentuk penyucian dan pemurnian seorang mukmin, di mana hal ini termasuk dalam kerangka jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Juga pahala dari sisi musibah yang diterimanya serta sakit yang dirasakannya.
Maha Suci Allah yang memberikan kenikmatan dan menunjukkan kelembutan-Nya kepada hamba-hamba pilihan-Nya melalui cobaan atau ujian-Nya. Hal ini juga merupakan tanda-tanda keimanan dan kebahagiaan.
(Bersambung, Insya Allah)

(Diambil dari kitab Taisir Al-Lathif Al-Manan fi Khulashah Tafsiri Al-Qur`an karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah)

1 HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah dalam Shahih-nya, no. 620, 1334, 6308.




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

langgeng.js
© 2009-2018