Monday, March 2, 2009
Sutrah dalam Shalat bag. 2
Sutrah dalam Shalat bag. 2
Penulis: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Syariah, Seputar Hukum Islam, 18 - Mei - 2008, 18:28:22
Sutrah Tidak Wajib bagi Makmum
Kewajiban sutrah ini secara khusus bagi imam dan orang yang shalat sendiri, baik dalam keadaan mukim (tidak bepergian) ataupun dalam keadaan bepergian (safar), shalat wajib ataupun shalat nafilah (sunnah), serta shalatnya dilakukan di tanah lapang ataupun dalam bangunan. Adapun makmum, tidak perlu memasang sutrah karena sutrah imam sekaligus merupakan sutrah makmum. Dalilnya:
1. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang telah lewat penyebutannya dalam edisi yang lalu (tentang shalat di Mina).
2. Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْـحَربَةِ، فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ، وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id, beliau memerintahkan (pelayannya) untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau. Beliau juga melakukan hal tersebut (menjadikan tombak sebagai sutrah) dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no. 1115)
3. Hadits ‘Aun bin Abi Juhaifah, ia berkata:
سَمِعْتُ أَبِي أَنَّ النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم صَلَّى بِهِمْ بِالْبَطْحَاءِ –وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ– الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنَ، تَـمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ الـْمَرْأَةُ وَ الْـحِمَارُ
“Aku mendengar ayahku menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Zhuhur dua rakaat dan Ashar dua rakaat mengimami mereka di Bathha' –di hadapan beliau ada tombak- lewat di belakang sutrah beliau wanita dan keledai.” (HR. Al-Bukhari no. 495 dan Muslim no. 1120, 1122)
Hadits-hadits di atas dimasukkan dalam satu bab khusus oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya dengan judul “Sutratul Imam Sutratu Man Khalfahu” artinya sutrah imam juga menjadi sutrah orang yang shalat di belakangnya.
Al-Imam Malik rahimahullahu mengatakan, “Aku tidak membenci adanya orang yang lewat di depan shaf makmum, sementara imam sedang memimpin shalat mereka, karena imam merupakan sutrah bagi mereka. Dan Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah masuk masjid, lalu berjalan melintasi manusia di antara shaf-shaf orang yang shalat, sampai dia berdiri di tempat shalatnya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)
Al-Imam Syafi’i rahimahullahu mengatakan, “Sutrah imam merupakan sutrah bagi makmum. Oleh karena itu, melintasnya keledai di depan shalat makmum tidak memutuskan shalat.” (Al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/716)
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa makmum tidak termudaratkan dengan orang yang lewat di hadapannya. Sebagaimana imam dan orang yang shalat sendiri tidak termudaratkan dengan apa yang lewat di belakang sutrahnya. (At-Tamhid, 5/32)
Sutrah di Ka'bah dan Masjidil Haram
Ketika seseorang shalat di Ka’bah atau Masjidil Haram, ia tetap harus memerhatikan masalah sutrahnya dan tidak membiarkan seorang pun lewat di hadapannya. Adapun hadits yang menyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Ka’bah, sementara tidak ada sutrah antara beliau dengan Ka’bah padahal manusia lalu lalang di depan beliau adalah hadits yang dhaif. Karena dalam sanadnya ada rawi yang majhul (tidak dikenal) bahkan mubham (tidak disebutkan namanya) antara Katsir ibnu Katsir ibni Muththalibi dengan kakeknya Muththalibi ibnu Abi Wada’ah. (Lihat Adh-Dha’ifah hadits no. 928)
Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membolehkan lewat di hadapan orang yang shalat di Masjid Makkah secara khusus. Sebagian lagi memutlakkannya. Akan tetapi pendalilan tersebut tidak bisa diterima dari beberapa sisi:
Pertama: Lemahnya hadits yang dijadikan sebagai dalil.
Kedua: Menyelisihi keumuman hadits-hadits yang mewajibkan orang yang shalat agar menghadap sutrah dan hadits-haditsnya ma’ruf. Demikian pula hadits yang melarang lewat di hadapan orang yang sedang shalat, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَوْ يَعْلَمُ الـْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الـْمُصَلِّي مَا ذَا عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui besarnya dosa yang ditanggungnya, niscaya ia akan memilih berhenti selama 401, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132)
Ketiga: Hadits ini tidaklah secara tashrih (jelas) menunjukkan bahwa orang-orang lewat dalam jarak antara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tempat sujudnya. Karena yang dimaksud larangan lewat di hadapan orang yang sedang shalat adalah lewat dalam jarak sujudnya. Demikian yang rajih dari pendapat ulama. Karena itulah Al-Imam As-Sindi rahimahullahu dalam Hasyiyah Sunan An-Nasa`i (2/67) mengatakan: “Hadits ini tidak bisa menjadi dalil bagi yang berpendapat bahwa di Makkah tidak membutuhkan sutrah.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memberi judul satu bab dalam kitab Shahih-nya, bab As-Sutrah bi Makkah wa Ghairiha, artinya “Sutrah itu di Makkah dan selainnya”. Lalu beliau membawakan hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالْـهَاجِرَةِ فَصَلىَّ بِالْبَطْحَاءِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنَ، وَنَصَبَ بَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةً...
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di tengah hari, lalu beliau shalat Zhuhur dan Ashar dua rakaat di Bathha2 dan dipancangkan di hadapan beliau sebuah tombak yang pendek….” (HR. Al-Bukhari no. 501 dan Muslim no. 1122)
Al-Hafizh rahimahullahu menyatakan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu sengaja mengkhususkan penyebutan kota Makkah untuk menampik anggapan bahwa tidak perlu memakai sutrah di Makkah karena tidak ada sesuatu yang dapat memutus shalat yang dikerjakan di Makkah, berdalil dengan hadits yang dhaif (yang sedang menjadi pembicaraan kita di atas). Beliau hendak memberikan peringatan akan lemahnya hadits tersebut dan menyatakan tidak ada bedanya kota Makkah dan selainnya dalam pensyariatan sutrah. (Fathul Bari, 1/745)
Faedah
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata: “Aku merasakan pengaruh hadits yang dhaif ini di Makkah tatkala aku berhaji pertama kali pada tahun 1369 Hijriyah. Aku masuk ke kota Makkah pada malam hari lalu thawaf sebanyak tujuh kali, kemudian aku mendatangi maqam Ibrahim lalu memulai shalat. Hampir-hampir aku baru memulai shalat namun aku telah dapati diriku terus menerus berupaya dengan sekuat tenaga mencegah orang yang lewat di antara aku dengan tempat sujudku. Hampir-hampir aku tidak berhenti mencegah seorang dari mereka dalam rangka mengamalkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga datang orang yang lain, aku pun menolaknya. Terus demikian! Salah seorang dari mereka yang aku tolak marah, ia berdiri di dekatku hingga aku selesai shalat. Kemudian ia menghadap kepadaku dengan mengingkari apa yang kulakukan.
Tatkala aku berargumen dengan hadits-hadits yang datang dalam masalah larangan melewati orang yang shalat dan perintah untuk mencegah orang yang lewat, ia menjawab bahwa Makkah dikecualikan dalam hal tersebut. Aku membantahnya hingga pertikaianku dengannya bertambah sengit. Aku mengajaknya bertanya kepada ahlul ilmi guna menyelesaikan permasalahan yang ada. Ketika kami telah sampai di hadapan para ulama ternyata mereka berbeda pendapat. Sebagian mereka berargumen dengan hadits ini. Aku meminta kepada mereka penetapan keshahihan hadits tersebut namun mereka tidak mampu. Maka peristiwa itulah termasuk yang melatarbelakangi aku mentakhrij hadits tersebut (dalam kitab beliau Adh-Dha’ifah, pent.) dan keterangan tentang illat-nya (sebab cacatnya). Dan perhatikanlah apa yang aku sebutkan niscaya akan jelas bagimu bahayanya hadits-hadits dhaif dan pengaruhnya yang jelek terhadap umat ini.
Kemudian setelah itu aku mendapati beberapa atsar shahih tidak hanya dari satu sahabat bahkan lebih, yang menguatkan apa yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahihah. Atsar tersebut mencakup masalah lewat di depan orang yang shalat di Masjid Makkah. Beberapa atsar tersebut adalah:
1. Dari Shalih bin Kisan, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma shalat di hadapan Ka’bah dan ia tidak membiarkan seorang pun lewat di hadapannya.” Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Tarikh Dimasyq (91/1) dan Ibnu ‘Asakir (8/106/2) dengan sanad yang shahih.
2. Dari Yahya bin Abi Katsir, ia menyatakan, “Aku melihat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu masuk ke Masjidil Haram, lalu ia menancapkan sesuatu atau menyiapkan sesuatu yang bisa digunakannya untuk shalat ke arahnya (sebagai sutrahnya).” Diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat (7/18) dengan sanad shahih. (Lihat Adh-Dha’ifah ketika membicarakan hadits no. 928).
Wallahu a’lam.
Ukuran Sutrah
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan, “Adapun kadar lebar/tebalnya sutrah, setahu kami tidak ada batasannya. Maka boleh menjadikan sesuatu yang tipis/tidak lebar sebagai sutrah seperti anak panah dan tombak, sebagaimana boleh menjadikan sesuatu yang tebal/lebar sebagai sutrah seperti tembok. Dan sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersutrah dengan tombak. Abu Sa’id berkata, “Kami pernah bersutrah dengan anak panah dan batu ketika shalat.” Diriwayatkan dari Sabrah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersutrahlah kalian di dalam shalat walaupun hanya dengan sebuah anak panah.”1 Diriwayatkan oleh Al-Atsram. Al-Auza’i berkata, “Mencukupi bagi seseorang anak panah dan cambuk (sebagai sutrah).” Ahmad berkata, “Sesuatu yang lebar lebih menyenangkan bagiku, karena dari ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘walaupun hanya dengan sebuah anak panah’ menunjukkan yang selain anak panah lebih utama dijadikan sutrah.” (Al-Mughni, kitabus Shalah, bab Imamah fashl Qadrus Sutrah)
Demikian pula dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu bahwa dalam perkara ini tidak ada ketentuan yang paten sehingga diperkenankan bersutrah dengan sesuatu yang tebal/lebar ataupun yang tipis. (Al-Majmu’, 3/227)
Shalat Menghadap Wajah Manusia
Al-Mirdawi berkata, “Dibenci seseorang shalat menghadap wajah manusia.” (Al-Masail Fiqhiyah 1/239). Demikian pula pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah (Al-Majmu’, 3/230-231, Adz-Dzakhirah, 2/157).
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan:
لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ، فَتَكُوْنُ لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَسْتَقْبِلَهُ فَأَنْسَلُّ انْسِلاَلاً .
“Sungguh aku pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dan aku berada di antara beliau dengan kiblat dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur. Kemudian aku mempunyai keperluan, sementara aku tidak suka menghadap ke arah beliau, maka aku pun beringsut pelan-pelan.” (HR. Al-Bukhari no. 511)
Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci bila seseorang menghadapkan wajahnya kepada beliau sementara beliau sedang shalat. Kejadian ini terjadi di malam hari dan tidak ada penerangan di rumah-rumah pada waktu itu sebagaimana dinyatakan secara jelas dalam haditsnya yang lain. Sehingga dibencinya seorang yang shalat menghadap wajah manusia bukan semata-mata karena tersibukkannya orang yang shalat dari shalatnya disebabkan melihat pada orang yang di hadapannya, namun karena dalam hal ini ada keserupaan dengan peribadatan kepada makhluk. Maka perkara ini dibenci sebagaimana dibencinya shalat menghadap gambar yang terpancang. (Al-Mughni, Kitabush Shalat, fashl Ash-Shalatu Mustaqbilan Wajha Insan ilan Nar, Fathul Bari li Ibni Rajab, Kitabush Shalah, bab Istiqbalur Rajul Ar-Rajul wa Huwa Yusalli)
Sebagai kesimpulan, sebab dibencinya shalat menghadap wajah manusia ada dua:
Pertama, tersibukkannya hati orang yang shalat dari shalatnya, sebagaimana jika ia melihat pada sesuatu yang melalaikannya.
Kedua, keadaan ini menyerupai sujud atau peribadatan kepada orang yang berada di hadapannya.
Tidak Membiarkan Sesuatu Lewat di Depannya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan sesuatu pun lewat antara dirinya dengan sutrahnya, hingga pernah suatu ketika:
كَانَ مَرَّةً يُصَلِّي، إِذْ جَاءَتْ شَاةٌ تَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ، فَسَاعَاهَا حَتَّى أَلْزَقَ بَطْنَهُ بِالْحَائِطِ وَمَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ
“Suatu kali beliau sedang shalat, tiba-tiba datang seekor kambing bersegera hendak lewat di hadapan beliau, maka beliau pun mendahuluinya dengan maju hingga perut beliau menempel ke dinding dan hewan tersebut lewat di belakang beliau.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, Al-Hakim 1/254, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Al-Imam Al-Bukhari”, dan disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih sebagaimana ucapan keduanya.” Lafadz hadits ini dari Ath-Thabarani. Dan tambahan (مَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ ) sanadnya hasan dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/122-123)
Pada kali lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صَلَّى صَلاَةً مَكْتُوْبَةً فَضَمَّ يَدَهُ. فَلَمَّا صَلَّى، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَحَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ أَنَّ الشَّيْطَانَ أَرَادَ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيَّ، فَخَنَقْتُهُ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ لِسَانِهِ عَلَى يَدِي، وَأَيْمُ اللهِ، لَوْلاَ مَا سَبَقَنِي إِلَيْهِ أَخِي سُلَيْمَانُ، لَأَرْتَبِطُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ حَتَّى يَطِيْفَ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ
Beliau shalat wajib, lalu beliau menggabungkan tangan beliau (mencekik). Tatkala selesai shalat, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah terjadi sesuatu dalam shalat tadi?” Beliau menjawab, “Tidak, hanya saja setan hendak lewat di hadapanku, maka aku mencekiknya hingga aku dapati dinginnya lidahnya di atas tanganku. Demi Allah, seandainya saudaraku Sulaiman tidak mendahuluiku dalam penguasaan terhadap setan niscaya aku akan mengikat setan tersebut di salah satu tiang masjid hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah. Siapa di antara kalian yang mampu agar jangan ada seorang pun yang menghalangi antara dia dengan kiblatnya (dengan lewat di hadapannya, pent.) maka hendaklah ia lakukan.” (HR. Ad-Daraquthni 140, Ahmad 5/104-105, dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Berkata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu, “Sanadnya shahih dengan syarat Muslim. Lafadz hadits ini dari Ad-Daraquthni. Dan tambahan:
فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ
dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/124)
Mencegah Orang yang Hendak Lewat
Hendaklah orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di depannya, baik orang dewasa maupun anak-anak, baik manusia maupun hewan. (Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl Raddu Man Yamurru baina Yadail Mushalli)
Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menolaknya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)
Ibnul Arabi rahimahullahu menyatakan yang dimaksud dengan muqatalah dari lafadz: فَلْيُقَاتِلْهُ adalah menolak/mendorong bukan maknanya al-qatl (membunuh). (Al-Qabas fi Syarhi Muwaththa’ Malik, 1/344).
Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu berkata, “Kami memandang pernyataan mudafa’ah ini diinginkan dengannya penekanan untuk betul-betul mendorong orang yang lewat dan tentunya segala sesuatu ada batasnya.” (Al-Istidzkar 6/163)
Orang yang shalat mencegah orang yang hendak lewat pertama kali dengan cara yang halus, dengan menggunakan isyarat. Namun bila tetap memaksa ingin lewat, didorong lebih kuat dibandingkan dorongan sebelumnya. (Syarhus Sunnah 2/456, Subulus Salam, 1/230)
Bila hal itu sampai mengakibatkan kematian orang yang lewat tersebut tanpa kesengajaan orang yang shalat itu untuk membunuhnya, maka tidak ada tanggungan apa-apa dan tidak ada kewajiban yang dibebankan atas orang yang shalat tersebut2. (Al-Muhalla, 2/130, Al-Majmu’ 3/228, Fathul Bari, 1/754)
Ulama sepakat ia tidak boleh memerangi/melawan orang yang lewat tersebut dengan menggunakan senjata. (Al-Istidzkar 6/163, Subulus Salam 1/230, Nailul Authar, 3/8)
Untuk mencegah orang yang ingin lewat, ia tidak boleh sampai berjalan ke depannya, tapi ia hanya mencegah dalam batas yang bisa dijangkau oleh tangannya dari tempat berdirinya. (Fathul Bari, 1/754, Al-Minhaj 4/446,447)
Apabila seseorang telah telanjur lewat di depan orang yang shalat, apakah dia ditarik kembali ke tempatnya semula? Dalam hal ini didapati dua pandangan ahlul ilmi. Pendapat jumhur, di antaranya Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Ishaq, dan Ibnul Mundzir, mengatakan, tidak disukai menariknya kembali ke tempat semula. Adapun ahlul ilmi yang lainnya memandang untuk mengembalikannya. Dan yang rajih adalah pendapat jumhur, karena dengan mengembalikannya akan membuat dia lewat dua kali. (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Yaruddul Mushalli Man Marra baina Yadaihi, Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl in Marra baina Yadaihi Insaan fa ‘Abara, lam Yustahabba Radduhu, Fathul Bari, 1/754)
Besarnya Dosa Lewat di Hadapan Orang Shalat
Abu Juhaim ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat (dalam jarak yang dekat dengan orang yang shalat, pent.) mengetahui apa yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132)
Hadits ini menunjukkan haramnya lewat di hadapan orang yang shalat dalam jarak yang dekat karena makna hadits ini adalah larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dari perbuatan demikian. Dengan begitu melewati orang yang shalat terhitung dosa besar. (Fathul Bari, 1/757)
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullahu menyatakan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang dibencinya lewat di antara orang shalat dengan sutrahnya dan berdosa siapa yang melakukan perbuatan tersebut. (Maratibul Ijma’ hal 54 )
Dalam hadits di atas kita dapatkan keterangan bahwa dosa yang disebutkan dalam hadits di atas diberikan kepada orang yang tahu adanya larangan lewat di depan orang shalat tapi ia tetap lewat. Dzahir hadits ini juga menunjukkan bahwa ancaman yang disebutkan khusus bagi orang yang lewat, bukan orang yang hanya diam berdiri dengan sengaja di depan orang shalat atau duduk ataupun tidur, akan tetapi bila alasan pelarangan adalah karena mengganggu/mengacaukan konsentrasi orang yang shalat maka sekadar diam di depan orang shalat pun bisa masuk ke dalam makna melewati.
Faedah
Adapun tambahan lafadz مِنَ الْإِثْمِ dalam hadits yang didapatkan di sebagian kitab, di antaranya dalam Ahkam lil Bukhari oleh Al-Muhibb Ath-Thabari, ‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi, dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu, “Lafadz ini ghairu mahfuzh (tidak terjaga/tidak shahih).”
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu menyebutkan bahwa tambahan lafadz ini dari riwayat Ats-Tsauri dari Salim Abun Nadhar, dan telah didapati pada kitab Ibnu Abi Syaibah riwayat Ats-Tsauri mudrajah (sisipan dari periwayat) dengan lafadz ini. Dengan demikian, keterangan yang ada menunjukkan lafadz tersebut mudrajah dari sebagian perkataan perawi dan merupakan tafsir dari makna (مَاذَا عَلَيْهِ). (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Al-Maarru baina yadail Mushalli)
Al-Imam Ibnu Shalah rahimahullahu berkata, “Lafadz tersebut tidak disebutkan dalam hadits secara sharih (jelas).” (Fathul Bari, 1/756)
Faedah
Ulama berselisih pandang tentang jarak yang diharamkan dan dibenci untuk dilewati oleh orang yang ingin lewat bila di hadapan orang yang shalat tanpa ada sutrah. Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah mengatakan, “Haram dilewati antara tempat telapak kaki orang yang shalat sampai ke tempat sujudnya.” Adapun Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat yang diharamkan adalah sejarak tiga hasta dari telapak kaki orang yang shalat. (Al-Fatawal Hindiyah 1/128, Bada`i’ush Shana’i 2/83-84 Taudhihul Ahkam, 2/62)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, “Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran adalah antara kedua kakinya dan tempat sujudnya, karena seorang yang shalat tidak berhak mendapatkan tempat lebih dari apa yang ia butuhkan dalam shalatnya sehingga ia tidak punya hak menahan orang yang lewat di tempat yang tidak dibutuhkannya. Adapun bila ia meletakkan sutrah maka tidak boleh dilewati antara dia dan sutrahnya. Namun kami katakan, “Bila engkau meletakkan sutrah maka jangan engkau berdiri jauh darinya tapi mendekatlah di mana nantinya sujudmu dekat dengan sutrah tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/709)
(bersambung, insya Allah)
1 Dishahihkan hadits ini oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 2783
2 Adapun Malikiyah dalam masalah qishash mereka berpandangan tidak dibebankan kepadanya, akan tetapi dalam masalah diyat mereka terbagi menjadi dua antara dibebankan dan tidaknya. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh 2/419)
Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com