Monday, January 12, 2009

Komentar dan Fatwa Ulama Seputar Masalah Palestina



Komentar dan Fatwa Ulama Seputar Masalah Palestina
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
Syariah, Kajian Khusus, 05 - Agustus - 2007, 06:23:22


Asy-Syaikh Muhammad Basyir Al-Ibrahimi1 mengatakan:
“Sesungguhnya Palestina adalah titipan Nabi Muhammad kepada kita, amanah Umar bin Khaththab yang berada dalam tanggungan kita, serta perjanjian Islam yang terletak di leher-leher kita. Maka jika Yahudi mengambilnya dari kita sementara kita ini adalah sekumpulan (umat), benar-benar kita merugi.”
Beliau juga mengatakan:
“Alangkah meruginya Palestina.... Apakah orang yang tidak memilikinya yang menjualnya, dan orang yang tidak berhak terhadapnya yang membelinya? .... Alangkah terhinanya Palestina... 
Mereka mengatakan: Sesungguhnya Palestina adalah tempat ibadah tiga agama samawi dan kiblat ketiga agama tersebut. Bila apa yang mereka katakan itu benar –dan itu memang benar– tentu orang yang paling berhak mendapatkan amanah terhadapnya adalah bangsa Arab. Karena mereka adalah kaum muslimin, di mana Islam menghendaki penghormatan terhadap kitab-kitab samawi dan ahli kitab serta mengharuskan beriman kepada seluruh nabi dan rasul. Islam juga menjamin pelaksanaan syiar Yahudi dan Nasrani. Bukankah Yahudi yang mendustakan para nabi dan membunuh mereka serta menyalib –menurut pengakuan mereka– Nabi ‘Isa yang benar, serta mengusir para sahabatnya dari Palestina, lagi kafir terhadap Nabi Muhammad setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan?” (Majalah Al-Basha`ir, edisi 22 tahun 1948 M, dinukil dari buku As-Salafiyyun wa Qadhiyatu Filistiin)

Asy-Syaikh Ahmad Syakir2 mengatakan:
“Sesungguhnya Inggris telah mewariskan besi (kekerasan) dan api (permusuhan) di Palestina untuk melindungi permasalahan yang merugikan dan untuk membela umat yang tidak akan tegak, serta tidak akan memiliki daulah (negara)...
Sesungguhnya orang-orang yang hina itu (Yahudi), telah Allah tetapkan pada mereka untuk selalu terusir. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengusir mereka dari kota Madinah. Lalu Umar Al-Faruq mengusir mereka dari Hijaz. Kemudian muslimin mendiamkan mereka, bahkan melindungi mereka saat mereka tertekan dan lemah. Maka ketika mereka kembali kepada jalan hidup mereka, berupa kejahatan dan permusuhan, Allah pun akan mengembalikan pengusiran itu, sehingga mereka terusir oleh Jerman dan Italia dari negeri mereka. Dan akhir perjalanan mereka –insya Allah– adalah kaum muslimin akan mengusir mereka dari seluruh negeri Islam....
Dan sungguh tokoh petinggi Muhammad ‘Ali Alubah Basya dalam Muktamar kemarin mengatakan kalimat yang saya harap selalu kita ingat: ‘Hendaknya Yahudi mengetahui, jika mereka bergembira saat ini dengan kemenangan yang bersandar kepada ‘tombak’ yang bukan milik mereka, mereka niscaya akan kalah di saat ‘tombak’ ini hilang dari mereka. Peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam sejarah telah banyak. Dan kesempatan akan datang, tidak diragukan lagi. Dan barangsiapa memberi peringatan maka dia telah mendapat hujjah...’.”

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan: Bagaimanakah solusi untuk masalah Palestina yang semakin hari semakin rumit dan ganas?
Jawab: “Sesungguhnya seorang muslim demikian banyak tersakiti serta prihatin sekali dengan memburuknya masalah Palestina, dari keadaan yang buruk ke arah yang lebih buruk. Semakin hari semakin runyam. Sehingga sampailah pada kondisi (seperti) di masa-masa akhir ini, dengan sebab perselisihan negara-negara tetangganya dan tidak teguhnya mereka dalam satu barisan untuk menghadapi musuhnya, serta tidak konsistennya mereka dengan hukum Islam yang dengan itulah Allah kaitkan kemenangan mereka. Serta dengan itulah Allah janjikan pemeluknya untuk menggapai kekhilafahan dan kemapanan di muka bumi. Hal itu mengindikasikan bahaya besar dan dampak yang berbahaya bilamana negara-negara tetangga itu tidak segera menyatukan barisan mereka lagi dari awal, serta konsisten dengan hukum Islam dalam menghadapi masalah yang telah menjadi persoalan mereka dan persoalan dunia Islam seluruhnya ini.
Di antara yang perlu saya garisbawahi pada kesempatan ini bahwa masalah Palestina adalah masalah Islam, sejak awal hingga akhirnya. Namun musuh-musuh Islam berupaya kuat untuk menjauhkan masalah ini dari garis Islam dan memahamkan kepada kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, bahwa itu hanya masalah orang Arab. Tidak ada kaitannya dengan non-Arab. Dan pada taraf ini, nampaknya mereka berhasil dalam upayanya. Oleh karena itu, saya menilai tidak mungkin (kita) sampai pada titik penyelesaian masalah tersebut kecuali dengan memandang bahwa itu adalah masalah Islam, dan dengan saling kerjasama antara sesama muslim dalam menyelamatkannya, serta berjihad melawan Yahudi dengan jihad yang Islami. Sehingga bumi (Palestina) dikembalikan kepada pemiliknya dan warga Yahudi itu pun pulang kembali ke negara asalnya. Sementara penduduk asli Yahudi tetap tinggal di negeri mereka di bawah hukum Islam, bukan hukum komunis atau sekuler. Dengan itu, kebenaran akan menang dan kebatilan akan terhina, serta pemilik negeri tersebut kembali ke negeri mereka di atas hukum Islam, bukan yang lain. Allah-lah yang memberi petunjuk.” (Diambil kumpulan fatwa beliau dengan sub judul Yajibu Tahkim Asy-Syar’i fil Khathifin)
Beliau mengatakan juga:
“Telah saya jelaskan di sana (surat kabar Al-Muslimun, 19/8/1415 H bertepatan dengan 20/1/1995 M) bahwa yang wajib dilakukan adalah berjihad melawan kaum musyrikin dari kalangan Yahudi dan yang lainnya bila ada kemampuan, hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (semacam upeti) jika mereka memang pantas diambil jizyah dari mereka, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi. Namun ketika kaum muslimin tidak mampu untuk itu maka tidak mengapa dilakukan perjanjian damai yang menguntungkan kaum muslimin serta tidak menistakan mereka, dalam rangka mencontoh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam peperangan atau perdamaiannya, serta dalam rangka berpegang dengan dalil-dalil syar’i yang bersifat umum maupun khusus dalam masalah ini, serta berhenti padanya. Inilah jalan keselamatan serta jalan kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia maupun akhirat.” (Majalah Al-Mujtama’ edisi 1140 tanggal 6/10/1415)

Pertanyaan: Apa hukumnya orang yang memasang bom pada tubuhnya, dengan tujuan membunuh sekelompok orang Yahudi?
Jawab: Pandangan saya –dan kami telah peringatkan masalah itu bukan hanya sekali– bahwa ini tidak benar, karena hal ini termasuk bunuh diri. Sementara Allah berfirman:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian.” (An-Nisa`: 29)
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu maka dia akan diadzab dengannya di hari kiamat.”
(Seseorang hendaknya) berusaha untuk menjaga dirinya, dan apabila disyariatkan jihad maka hendaknya berjihad bersama muslimin. Sehingga apabila terbunuh maka alhamdulillah. Adapun dia membunuh dirinya dengan memasang ranjau/bom pada dirinya sehingga terbunuh bersama mereka atau melukai dirinya bersama mereka (adalah) salah, tidak diperbolehkan. Akan tetapi berjihad adalah bila disyariatkan jihad bersama muslimin. Adapun apa yang dilakukan pemuda-pemuda Palestina, maka itu salah, tidak boleh. Hanyalah yang wajib mereka lakukan adalah berdakwah kepada jalan Allah, taklim dan bimbingan serta nasihat tanpa melakukan perbuatan tersebut. (Dinukil dari buku Fatawa Al-A`immah Fin Nawazil Al-Mudlahimmah, hal. 179)

Fatwa Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi3
Tanya: Anda menjawab bahwa jihad terbagi menjadi dua, jihad thalab (yang bersifat menyerang –ofensif) dan Anda telah menerangkannya dengan keterangan yang cukup, walhamdulillah. Tinggal bagian yang kedua, seandainya Anda berkenan untuk menjawabnya –jazakumullah khairan.
Jawab: Adapun jihad daf’i (bersifat mempertahankan diri –defensif) yang telah dibicarakan ulama dan ditetapkan oleh mereka bahwa itu hukumnya fardhu 'ain.... Apa itu artinya? Yaitu musuh-musuh Islam menjajah salah satu negeri muslimin, maka wajib atas penduduk negeri itu bangkit membendung musuh ini dan mengusirnya dari negeri mereka. Dan hendaknya mereka terus melawan selama jumlah mereka tidak kurang dari setengah jumlah musuh yang memerangi dan menjajah. Bila jumlah mereka kurang dari jumlah ini, maka menjadi kewajiban negara tetangganya untuk ikut serta dalam jihad, dan itu menjadi fardhu ain atas mereka juga seluruh masyarakat Islam untuk bekerja sama dengan mereka semampunya. Akan tetapi mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka harus melakukan persiapan untuk mengusir musuh. Bukan seperti keadaan Palestina sekarang. Penduduk Palestina belum menggelar persiapannya. Bahkan masyarakat Arab Islam yang bertetangga dengannya juga belum melakukan persiapan untuk mengusir musuh-musuh Allah baik dari kalangan Yahudi dan yang lainnya. Yakni di saat Yahudi menjajah Palestina muncullah syiar-syiar jahiliah, nasionalisme, sosialisme, dan seterusnya, yang semestinya mereka bertaubat kepada Allah dari hal itu, dan kembali kepada-Nya agar berhak mendapatkan janji Allah berupa pertolongan-Nya atas musuh-musuh Allah. Tapi justru mereka menyambut ideologi-ideologi ini, nasionalisme, sosialisme, ba’ts dan seterusnya. Maka golongan-golongan seperti ini tidak akan mendapat kemenangan, dan jihad mereka tidak Islami. Oleh karena itu, jihad di Palestina sampai sekarang bukanlah jihad yang Islami, tetapi atas nama nasionalisme dan kebangsaan.4
Jika kaum muslimin kembali kepada jalan Allah dan bertaubat kepada-Nya lalu mereka mentarbiyah diri-diri mereka, anak-anak mereka dan pasukan mereka di atas tauhidullah yang murni serta terdidik di atas jihad demi menegakkan kalimat Allah supaya tinggi, ketika itulah insya Allah mereka dapat mengusir musuh itu.
Dan realita Palestina sekarang, (mereka) memerangi musuh yang cukup berbahaya ini, yang bersenjatakan teknologi tercanggih dan mutakhir dengan didukung negara-negara Eropa dan Amerika. Sementara Palestina tidak ada yang mendukung mereka, satu negarapun. Maka pandangan saya bahwa termasuk dari sikap terburu-buru dan tidak cerdas bila engkau perangi musuh tersebut dengan bebatuan (intifadha, ed.). Termasuk kebodohan yang ditolak Islam dan ditolak orang yang berakal (di mana) musuhmu bersenjatakan senjata yang paling ampuh dan canggih, pesawat tempur, tank, rudal, nuklir, dan seterusnya, sementara engkau tidak punya kecuali batu, dan engkau lawan dengannya.
Saya berpandangan, sekarang bila musuh menyerang rumah-rumah penduduk yang aman, serta keluarga mereka, maka wajib bagi mereka membela diri. Sampai-sampai saya ditanya oleh orang Palestina: “Bila mereka (musuh) menyerang kami, apa yang kami lakukan?” Saya jawab: “Perangi mereka jika mereka menyerangmu dan keluargamu. Lawan dengan segala yang engkau bisa, baik dengan batu atau tongkat, sampaipun dengan kuku-kuku dan gigi-gigimu.” Maka saya katakan rakyat Palestina ini, kalian jangan mencoba menyulut musuh ini sementara kalian dalam keadaan selemah-selemahnya. Dan pada derajat kelemahan terendah, janganlah kalian memanasi mereka. Mulailah dengan taklim, didiklah dengan manhaj Islam yang benar, niscaya Allah akan jadikan untuk kalian jalan keluar dan solusi. Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.” (Ath-Thalaq: 2)
Maka wajib bagi kalian untuk mengikhlaskan niat dan wajib mentarbiyah diri dan anak kalian di atas tauhidullah sehingga kalian mendapatkan hak kemenangan dari Allah. Lalu siapkan persenjataan ketika kalian angkat bendera jihad, niscaya Allah akan menolong kalian. Inilah yang mungkin aku katakan seputar jihad ini. Dan aku memohon kepada Allah tabaraka wa ta’ala agar memberikan taufiq-Nya kepada kaum muslimin untuk bertaubat kepada Allah dan kembali kepada-Nya, agar Allah angkat kehinaan ini dari mereka. Kejayaan, pertolongan dan lenyapnya kehinaan, itu semuanya tergadai dengan kembalinya mereka kepada jalan Allah secara benar, (jalan) yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Bila ini terwujud, insya Allah kaum muslimin akan diberi mahkota kemenangan pada pertempuran manapun yang mereka lakukan melawan musuh Allah:
وَلَوْ قَاتَلَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لَوَلَّوُا اْلأَدْبَارَ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْنَ وَلِيًّا وَلاَ نَصِيْرًا. سُنَّةَ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيْلاً
“Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kamu pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah) kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) menolong. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.” (Al-Fath: 22-23) 
Ini adalah sunnatullah, tidak akan meleset selamanya, sunatullah al-kauniyyah (ketetapan Allah pada alam ini). Maka bila kita lakukan sunnah syar’iyyah (ketetapan Allah pada syariat-Nya) yang kita diminta melakukannya, niscaya akan datang sunnatullah al-kauniyyah yaitu janji Allah untuk menang terhadap musuh dan mendapatkan kemenangan di atas musuh.
Maka bila kalian sungguh-sungguh dalam memerangi Yahudi dan selain mereka, hendaknya memakai senjata ini, senjata aqidah. Setelah itu baru senjata fisik. Adapun sekarang, senjata iman lemah –tidak saya katakan tidak ada– lemah sekali, jauh dari tingkatan yang dimaukan. Sementara senjata fisik tidak ada. Kalau begitu, belum waktunya jihad... Adapun persatuan Arab yang berlandaskan nasionalisme Arab, kebangsaan jahiliah, (maka Nabi bersabda:) “Bukan dari golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiah (fanatik kesukuan) atau berperang karena ashabiah”, atau berperang di bawah bendera ‘immiyyah (kesesatan). Bendera ‘immiyyah yang tergabung padanya Nasrani, Yahudi bila dia punya toleransi, masuk pula padanya komunis, masuk padanya sekuler. Ini bila kita angkat bendera kearaban. Orang yang mengangkat bendera ini apakah menjadi syahid?! Sekali-kali tidak! Orang yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi itulah yang di jalan Allah. Demi Allah, Yahudi dan Nasrani benar-benar bertepuk tangan terhadap identitas kearaban karena mereka paham benar bahwa tidak akan mengalahkan mereka kecuali Islam yang Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam datang membawanya. Islam yang dengannya terbukalah daerah-daerah di dunia ini. Islam yang dengannya pemelukya menang di atas segala bangsa dan agama….” (Kaset Aqwal ‘Ulama Fil Jihad Al-Mu’ashir)

1 Salah seorang anggota Jum’iyyah Ulama di Aljazair.
2 Seorang pakar hadits sekaligus hakim di Mesir.
3 Mantan Ketua Jurusan As-Sunnah pada Fakultas Hadits, Universitas Islam Madinah.
4 Anehnya, justru pada tahun 1946 Hasan Al-Banna berceramah di hadapan tim gabungan Amerika dan Inggris dalam urusan Palestina, yang di antara isinya: “…Sisi yang akan saya bicarakan adalah sebuah titik yang sederhana dari sisi pandang agama. Karena titik ini bisa jadi tidak dipahami oleh bangsa Barat. Oleh karena itu, saya hendak menjelaskannya dengan ringkas. Saya tetapkan bahwa permusuhan kami dengan Yahudi bukan dari sisi agama, karena Al-Qur`an menganjurkan untuk bersahabat dan berkawan dengan mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum syariat kebangsaan. Juga Al-Qur`an telah memuji mereka dan menjadikan antara kita dengan mereka ikatan... Ketika kami menentang hijrah Yahudi dengan segala kekuatan kami, adalah karena hal tersebut mengandung bahaya secara politis dan merupakan hak bagi kami, Palestina menjadi negara Arab.” (Ikhwanul Muslimin Ahdatsun Shana'at Tarikh)
Ternyata ideologi ini diwarisi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, di mana ia mengatakan: “Jihad kami melawan Yahudi bukan karena mereka Yahudi. Sebagian saudara yang menulis dalam masalah ini dan berbicara tentangnya menganggap bahwa kita memerangi Yahudi karena mereka itu Yahudi. Kami tidak memandang demikian. Sehingga kita tidak memerangi Yahudi disebabkan aqidah, namun kita memerangi mereka dikarenakan tanah. Kita tidak memerangi orang kafir karena mereka itu orang kafir, namun memerangi mereka karena mereka telah merampas tanah dan negeri kita serta mengambilnya dengan cara yang tidak benar.” (Majalah Ar-Rayah edisi 4696, 24 Sya’ban 1415 H, bertepatan 25 Januari 1995 M, dinukil dari buku Dhalalat Al-Qaradhawi hal. 8)




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Boikot Produk Yahudi



Boikot Produk Yahudi
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.
headline, Manhaji, 18 - Juli - 2007, 00:15:59


Tak bisa dimungkiri, negara-negara muslim kini dibanjiri produk-produk niaga dari perusahaan multinasional yang dikuasai Yahudi. Namun ada hal lebih besar yang mesti diwaspadai. Yakni, “produk” mereka yang bersentuhan dengan syariat. Jangan sampai, misalnya, kita berada di “garda terdepan” dalam kampanye boikot produk niaga Yahudi -yang masih perlu dibahas tentang perlu atau tidaknya-, namun justru menjadi pengawal demokrasi, sistem politik yang mewadahi beragam kaidah rusak ala Yahudi.

Siapa Yang Tak Kenal Yahudi?!
Yahudi adalah kaum yang terkutuk, karakternya pun amat buruk, curang, licik, angkuh dan zhalim. Dengan bermodalkan karakter yang buruk ini, dilengkapi kelihaian mengotak-atik otak, terbentuklah mereka sebagai bangsa yang ‘usil’. Tak hanya manusia biasa yang mereka usili, para rasul yang senantiasa membimbing mereka pun kerap kali menjadi obyek usilan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوْسَى الْكِتَابَ وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ وَآتَيْنَا عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوْحِ الْقُدُسِ أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ بِمَا لاَ تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيْقًا كَّذَّبْتُمْ وَفَرِيْقًا تَقْتُلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa. Dan telah Kami susulkan (berturut-turut) sesudah itu rasul-rasul. Dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus (Malaikat Jibril). Apakah setiap kali datang kepada kalian seorang Rasul membawa sesuatu (ajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian bersikap angkuh? Maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?!” (Al-Baqarah: 87)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Kuasa tak luput pula dari ulah usil mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ يَدُ اللهِ مَغْلُوْلَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيْهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Tangan Allah terbelenggu’, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu, dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sesuai dengan kehendak-Nya.” (Al-Ma`idah: 64)
Subhanallah… Betapa bejat dan bobroknya kaum Yahudi. Tak heran bila Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan kepada mereka kenistaan, kehinaan, kemurkaan, dan kutukan, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُوْنَ بِآيَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيِّيْنَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ 

“Lalu ditimpakanlah kepada mereka kenistaan dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (Al-Baqarah: 61)

بَلْ لَعَنَهُمُ اللهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيْلاً مَّا يُؤْمِنُوْنَ

“Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka. Maka sedikit sekali dari mereka yang beriman.” (Al-Baqarah: 88)
Sikap Yahudi terhadap Islam dan kaum muslimin juga demikian buruk. Bahkan merekalah orang yang paling keras permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Permusuhan itu mereka gulirkan secara estafet sejak awal masa keislaman dan terus akan berlanjut hingga akhir zaman nanti. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِيْنَ آمَنُوا الْيَهُوْدَ وَالَّذِيْنَ أَشْرَكُوا 

“Sesungguhnya kamu akan dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (Al-Ma`idah: 82)
Tiada tujuan lain dari permusuhan yang keras itu melainkan untuk mengeluarkan kaum muslimin dari agama Islam yang haq dan menyeret mereka kepada agama dan hawa nafsu Yahudi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani sekali-kali tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120)

Awas Produk Yahudi!
Para pembaca yang mulia, mengingat betapa kuatnya daya tarik Yahudi terhadap umat ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berlepas diri (bara`) dari kaum Yahudi dan memboikot pemikiran-pemikiran produk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوااْليَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي اْلقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Ma`idah: 51)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam siapa saja yang mengikuti agama dan hawa nafsu Yahudi (dan Nasrani) dengan ancaman yang keras, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيْرٍ

“Jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Yahudi dan Nasrani) setelah datang kepadamu ilmu (kebenaran), maka Allah tiada menjadi Pembela dan Penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah memperingatkan umatnya dari cara/jalan/produk kaum Yahudi ini. Sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟

“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir, pen.), niscaya kalian pun akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu. Lihat Al-Lu`lu` wal Marjan, hadits no. 1708)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ketika menerangkan hadits Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu 'anhu (yang semakna dengan hadits di atas)1, berkata: “Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bukanlah persetujuan dari beliau (untuk mengikuti cara/jalan/produk Yahudi dan Nasrani, pen). Akan tetapi, sebagai bentuk peringatan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Qaulul Mufid, 1/202)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ketika menjelaskan hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:

اصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

“Lakukanlah apa saja (terhadap istri kalian yang sedang haid, pen.) kecuali jima’.” (HR. Muslim, Kitabul Haidh, hadits no. 302)
mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan kepada Nabi-Nya mengandung bentuk penyelisihan yang banyak terhadap kaum Yahudi. Bahkan semua perkara yang ada pada mereka berusaha diselisihi oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga berkatalah kaum Yahudi: ‘Orang ini (yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidaklah mendapati sesuatu pada kami kecuali pasti dia selisihi.”2 (Iqtidha` Ash-Shirathil Mustaqim, 1/214-215, lihat pula pada hal. 365)

Mengenali Produk Yahudi
Para pembaca yang mulia, produk Yahudi yang harus diwaspadai dan diboikot adalah yang berkaitan dengan pemikiran mereka dalam hal aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Karena hal-hal tersebut sangat berbahaya bagi agama kaum muslimin. Di antara produk-produk tersebut adalah: 

1. Menjadikan kubur nabi atau orang-orang shalih sebagai masjid/tempat ibadah. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ 
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kubur-kubur para nabi mereka sebagai masjid/tempat ibadah.” (HR. Muslim, no. 530, dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) sikap pengagungan terhadap seseorang hingga kuburnya dijadikan sebagai masjid/tempat ibadah, karena khawatir menjadi fitnah baginya dan bagi orang-orang sepeninggalnya.” (Al-Umm, 1/278)

2. Melecehkan para nabi dan ulama
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ وَآتَيْنَا عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لاَ تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَّذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ 

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa. Dan telah Kami susulkan (berturut-turut) sesudah itu rasul-rasul. Dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus (Malaikat Jibril). Apakah setiap kali datang kepada kalian seorang Rasul membawa sesuatu (ajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian besikap angkuh? Maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?!” (Al-Baqarah: 87)
Sikap ini diwarisi oleh ahlul bid’ah, sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Ismail bin Abdurrahman Ash-Shabuni rahimahullahu: “Tanda dan ciri utama ahlul bid’ah adalah permusuhan, penghinaan, dan pelecehan yang luar biasa terhadap para pembawa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni para ulama).” (‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits, hal.116)3

3. Dengki terhadap orang-orang yang beriman
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَدَّ كَثِيْرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ 
“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata kebenaran bagi mereka.” (Al-Baqarah: 109)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang Yahudi, karena kedengkian mereka terhadap kaum mukminin yang berada di atas petunjuk dan ilmu (yang benar). Penyakit ini pun menimpa kalangan orang berilmu dan yang lainnya. Yaitu dengan mendengki orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk, baik berupa ilmu yang bermanfaat atau pun amal shalih. Ini merupakan akhlak yang tercela dan akhlak orang-orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Iqtidha` Ash-Shirathil Mustaqim, 1/83)

4. Kikir ilmu dan harta
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُوْرًا. الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ 
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain untuk berbuat kikir, serta menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.” (An-Nisa`: 36-37)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati orang-orang Yahudi dengan sifat kikir; yakni kikir ilmu dan harta. Walaupun sebenarnya konteks ayat ini lebih mengarah kepada kekikiran mereka dalam hal ilmu…”
Di tempat yang lain beliau berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati orang-orang yang mendapat murka ini (Yahudi), bahwa mereka (mempunyai kebiasaan) menyembunyikan ilmu. Terkadang karena kikir untuk menyampaikannya, terkadang karena tendensi dunia, dan terkadang pula karena rasa khawatir kalau ilmu yang disampaikan itu akan menjadi hujjah atas mereka (bumerang).” (Lihat Iqtidha` Ash-Shirathil Mustaqim, 1/83-84)

5. Tidak mau mengikuti kebenaran kalau bukan dari kelompoknya, dalam kondisi mengetahui bahwa itu adalah kebenaran
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُوْنَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Berimanlah kepada Al-Qur`an yang diturunkan Allah’, mereka berkata: ‘Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami’. Dan mereka kafir kepada Al-Qur`an yang diturunkan sesudahnya padahal Al-Qur`an itu adalah (kitab) yang haq; yang membenarkan apa yang ada pada mereka.” (Al-Baqarah: 91)
Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan ayat di atas setelah firman-Nya:
وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْكَافِرِيْأنَ 
“Padahal sebelumnya mereka senantiasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (Al-Baqarah: 89)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati orang-orang Yahudi bahwa mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran. Namun manakala yang menyampaikannya bukan dari kelompok mereka, maka tidak diikutinya. Mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali yang datang dari kelompoknya semata, padahal mereka yakin bahwa hal itu semestinya harus diikuti.” (Iqtidha` Ash-Shirathil Mustaqim, 1/86)

6. Mengubah-ubah perkataan (kebenaran) dari tempat yang sebenarnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ 
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan (kebenaran) dari tempat-tempatnya.” (An-Nisa`: 46)
Di antara contoh perbuatan kaum Yahudi ini adalah apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan pada lanjutan ayat di atas:
وَيَقُوْلُوْنَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّيْنِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللهُ بِكُفْرِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُوْنَ إِلاَّ قَلِيْلاً 
“Mereka berkata: ‘Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.’ Dan (mereka mengatakan pula): ‘Dengarlah’ sedangkan kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan pula): ‘Rai’na’ dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: ‘Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami’, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (An-Nisa`: 46)4
Demikianlah beberapa produk Yahudi yang harus dijauhi dan diboikot. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kaum muslimin dari semua makar-makar Yahudi.

Produk Instan Yahudi Untuk Menghancurkan Dunia
Pada tahun 1897 M, kota Basel (Swiss) menjadi tuan rumah pertemuan akbar Yahudi Dunia. Lebih dari 300 tokoh Yahudi hadir dalam pertemuan yang dipimpin oleh Theodore Hertzl, seorang wartawan Yahudi kelahiran Hongaria. Mereka datang sebagai duta dari 50 organisasi Yahudi dunia, untuk menggodok trik-trik Yahudi dalam menyikapi perseteruan dunia, dengan mengacu kepada ajaran-ajaran yang terdapat pada kitab Talmud yang mereka agungkan. Targetnya, untuk menghancurkan seluruh kekuasaan di dunia ini dan mendirikan kembali kerajaan dunia Dawud Raya.
Pertemuan akbar ini berhasil menelurkan 24 butir keputusan penting, yang kemudian hari dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan ‘Protokolat Hukama Shuhyun’. Di antara isinya adalah sebagai berikut:
 Kita harus menjerumuskan umamiyyin (orang-orang non Yahudi) ke dalam kehinaan dengan skenario dari kita. Para aktor lapangannya adalah kader-kader dari kalangan guru, pembantu, babysitter, dan wanita-wanita penghibur (artis).
 Demi teraihnya sebuah tujuan, kita harus menggunakan cara-cara suap, penipuan, dan khianat, tanpa keraguan sedikitpun.
 Kita kelabui umat manusia dengan mendengungkan slogan-slogan: ‘kebebasan, persamaan, dan persaudaraan’, dan menjadikan mereka terikat dengan slogan-slogan tersebut, agar mudah bagi kita untuk melakukan segala sesuatu yang kita inginkan.
 Kita akan memilihkan untuk kaum non Yahudi para pemimpin yang bermental budak dan tidak berpengalaman dalam memimpin.
 Kita akan kuasai media massa, karena ia merupakan senjata ampuh untuk mempropagandakan segala keinginan.
 Kita harus menebar permusuhan antara penguasa dengan rakyatnya sehingga penguasa itu seperti seorang buta yang kehilangan tongkatnya5, dan mau tidak mau meminta bantuan kita untuk melanggengkan kedudukannya.
 Kita tampilkan di hadapan rakyat yang terzhalimi sebagai pembela mereka, dengan target agar mereka menjadi bagian dari kita dan menjadi para pendukung di kemudian hari.
 Kita akan ciptakan krisis ekonomi global dengan segala cara yang memungkinkan.
 Kita akan terus tebarkan slogan hak asasi, karena ia dapat mencetak masyarakat yang berani melanggar hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala aturan-Nya.
 Kita harus hancurkan keimanan yang ada dalam sanubari umat manusia dan kita kosongkan dari benak mereka adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian kita gantikan dengan berbagai-macam kegiatan yang bersifat duniawi (seperti cabang-cabang olahraga), dan mempersiapkannya dalam skala internasional dengan segala macam promosinya, agar umat manusia tidak berkesempatan lagi untuk kembali kepada ajaran agamanya dan tidak menyadari keberadaan musuhnya dalam pertempuran global ini.
 Kamilah yang menciptakan sistem pemilu dan hukum mayoritas (demokrasi), agar kami leluasa dalam memilih pemimpin yang kami kehendaki.6
 Kami akan menggunakan cara-cara kudeta dan pemberontakan, bila itu yang terbaik.
(Untuk lebih rincinya, lihat Al-Yahudiyyah wal Masihiyyah, karya Dr. Muhammad Dhiya`ur-rahman Al-A’zhami, hal. 217-225, dan Al-Mausu’ah Al-Muyassarah fil Adyan wal Madzahib Al-Mu’ashirah, terbitan WAMY, hal. 332-337)

Pekik Peringatan Untuk Kaum Yahudi
Imam al-jarh wat ta’dil abad ini, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah–, dari kota suci Makkah Al-Mukarramah mengumumkan tantangannya kepada kaum Yahudi yang sombong dan semena-mena itu. Beliau sampaikan tantangan tersebut dalam sebuah makalah yang ditayangkan dalam situs www.rabee.net, dengan judul Shaihatu Nadzir yang artinya: ‘Pekik (peringatan) dari seorang pemberi peringatan’. Beliau awali tantangan tersebut dengan sapaan:
“Kepada umat yang dimurkai Allah……..
Kepada umat yang rendah lagi hina, yang Allah timpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan, karena kekafiran dan pembunuhan mereka terhadap para Nabi…..…”
Kemudian beliau mengatakan: “Inilah di antara karekter bejat kalian yang mendatangkan kenistaan, kehinaan dan kemurkaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalian tidak pernah mulia sampai hari ini dan bahkan hingga hari kiamat, kecuali bila kalian mau berpegang dengan tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Kalian adalah orang-orang yang tidak mempunyai iman dan aqidah, kalian adalah orang-orang yang tidak mempunyai kejantanan dan keberanian. Sejak dahulu kalian berperang dari balik layar, sementara perseteruan di antara kalian pun amat dahsyat. Sungguh sifat-sifat kalian yang buruk amat banyak sekali, di antaranya; khianat, tidak menepati janji, juru fitnah (provokator), pengompor api peperangan, dan berjalan dengan menebar kerusakan di muka bumi. Setiap kali kalian mengobarkan api peperangan, maka Allah berkuasa untuk memadamkannya. Sungguh sejarah kalian amat hitam, semua umat manusia mengetahuinya.
Kepada mereka, aku dan setiap muslim yang jujur menyampaikan: “Jangan kalian sombong, jangan kalian semena-mena, dan jangan kalian tertipu oleh apa yang kalian raih dari kemenangan yang palsu sementara ini! Karena demi Allah, kalian tidak pernah menang terhadap pasukan Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan terhadap aqidah tauhid Laa Ilaha Illallah yang dibawa oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalian pun tidak akan pernah menang melawan pasukan Islam yang dipimpin oleh panglima Khalid bin Al-Walid, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Amr bin Al-’Ash, dan An-Nu’man bin Muqrin yang telah terbentuk di atas aqidah dan manhaj Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, membina pasukannya di atas aqidah dan manhaj beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memimpin mereka semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi. Pasukan Islam yang tidak tertandingi oleh pasukan Kisra (raja Persia) dan Kaisar (raja Romawi) yang jauh lebih kuat dan lebih handal daripada kalian. Sungguh, kalian tidak akan menang terhadap pasukan Islam yang seperti ini keadaannya, aqidahnya, manhajnya dan tujuannya.
Hari ini kalian boleh merasa menang, karena memang yang kalian hadapi adalah pasukan khaluf (pengganti yang jelek). (Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, pen.): 
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاَةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Kalian hanya bisa menang ketika melawan pasukan yang mayoritasnya tidak beraqidah dengan aqidah Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidak bermanhaj dengan manhaj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, serta tujuan berjihadnya tidak seperti tujuan jihad mereka.”7

Penutup
Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil beberapa kesimpulan berikut ini:
Yahudi adalah kaum terkutuk dan berkarakter buruk.
 KaumYahudi adalah orang yang paling keras permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Tiada tujuan lain dari permusuhan yang keras itu melainkan untuk mengeluarkan (memurtadkan) kaum muslimin dari agama Islam yang haq dan menyeret mereka kepada agama dan hawa nafsu Yahudi.
 Produk-produk Yahudi dalam hal aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah amat berbahaya bagi aqidah kaum muslimin. Maka dari itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya memerintahkan kepada kita semua untuk berlepas diri dari Yahudi dan memboikot seluruh paham/ideologi produk mereka.
 Kaum muslimin harus menyadari bahwa ambisi kaum Yahudi untuk menguasai dunia ini sangatlah besar sekali. Mereka menempuh semua cara untuk mewujudkannya. Sehingga sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk memperhitungkan 24 butir keputusan penting Protokolat Yahudi yang sasaran utamanya adalah kaum muslimin.
 Tidak ada strategi terbaik untuk menghadapi makar dan permusuhan keras kaum Yahudi kecuali dengan kembali kepada agama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang murni. Beraqidah dengan aqidah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, bermanhaj dengan manhaj beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, serta bercita-cita untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini.
 Sejarah telah membuktikan, bahwa kaum Yahudi, bahkan yang jauh lebih kuat dan lebih handal dari mereka, tak mampu menghadapi pasukan Islam yang seperti ini keadaannya, dan barulah musuh-musuh Islam itu menang manakala mayoritas kaum muslimin jauh dari agama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang murni, menyia-nyiakan shalat, dan memperturutkan hawa nafsu. Wallahul Musta’an.
Akhir kata, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mempersatukan seluruh elemen kaum muslimin dalam satu barisan, dan di atas satu pijakan; yaitu agama Islam yang murni, warisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dengan selalu menjadikan Al-Qur`an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pemahaman para sahabat radhiyallahu 'anhum sebagai referensi utama dalam menyelesaikan segenap problematika. Sehingga terwujudlah janji Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِي لاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan mengokohkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka dari ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku.” (An-Nur: 55)
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 HR. At-Tirmidzi, Kitabul Fitan, hadits no. 2180
2 Betapa anehnya perkataan pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna (tentang kasus Palestina): “Untuk itu, kami menetapkan bahwa permusuhan kami dengan Yahudi bukanlah permusuhan agama. Karena Al-Qur`an telah menganjurkan untuk bergabung dan berkawan dekat dengan mereka. Dan Islam merupakan syariat kemanusiaan sebelum menjadi syariat kebangsaan. Al-Qur’an pun telah memuji mereka dan menjadikan antara kita dengan mereka keterkaitan yang kuat.” (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdatsun Shana’at Tarikh, 1/409-410. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 59)
3 Untuk lebih rincinya, lihat rubrik Manhaji Vol. 1 edisi 12/1425 H/2005, dengan judul Melecehkan Ulama, Kebiasaan Yahudi dan Ahlul Bid’ah.
4 Untuk lebih rincinya lihat Iqtidha’ Ash-Shiratil Mustaqim, 1/87-88.
5 Dalam poin ini kelompok sempalan Hizbut Tahrir (HT) –disengaja atau tidak, disadari atau tidak– telah mengadopsi produk Yahudi di atas dan menjadikannya sebagai salah satu prinsip penting kelompoknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh pendiri HT, Taqiyuddin An-Nabhani: “Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antar sesama anggota masyarakat guna memengaruhi masyarakat tidaklah cukup. Kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” (Lihat Mengenal HT, hal. 24, Terjun Ke Masyarakat, hal.7)
6 Produk yang satu ini (demokrasi dan segala yang terkait dengannya) amat lekat dengan kelompok sempalan Ikhwanul Muslimin. Bahkan merekalah yang banyak meramaikan arena politik praktis di banyak negeri, sejak awal mula berdirinya (di Mesir) yang dipimpin langsung oleh Hasan Al-Banna hingga hari ini.
7 Demikianlah beberapa cuplikan dari perkataan Syaikh kami yang mulia Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah–. Untuk lebih lengkapnya lihat situs www.rebee.net atau www.islamspirit.com




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Saturday, January 10, 2009

Wahai Para Da’I dan Penuntut Ilmu, Waspadai Ghurur


Wahai Para Da’I dan Penuntut Ilmu, Waspadai Ghurur
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZASyariah, Oase, 13 - Desember - 2008, 02:08:16
Ghurur adalah suatu sifat yang menipu penyandangnya. Dia adalah suatu kebodohan yang membuat seseorang menilai sesuatu yang jelek sebagai sesuatu yang baik dan kesalahan sebagai sesuatu kebenaran. Demikian dijelaskan Ibnul Jauzi t dalam bukunya Talbis Iblis. Sifat ini muncul karena bercokolnya syubhat atau kerancuan berpikir yang membuatnya salah dalam menilai. Iblispun masuk untuk menggoda manusia seukuran kemampuannya dan akan semakin mantap cengkramannya terhadap seseorang atau semakin melemah seiring dengan ukuran kesadaran atau kelalaian orang tersebut, juga sebatas kebodohan atau keilmuannya. Demikian beliau jelaskan dalam kitab tersebut.Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencela sifat ini dalam banyak ayat Al-Qur`an. Karena sifat ini telah membuat sekian banyak manusia terjerembab dalam kubang kehinaan dan kerugian, yang tentunya murka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mereka rasakan. Orang kafir dan para munafik adalah sebagian contoh dari sekian banyak contoh korban sifat ghurur. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللهِ وَغَرَّكُمْ بِاللهِ الْغَرُورُ“Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: ‘Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?’ Mereka menjawab: 'Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu’.” (Al-Hadid: 14)Yakni kalian tertipu oleh setan sehingga kalian tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan seagung-agungnya. Sehingga kalian tidak mengetahui kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kalian. Akhirnya kalianpun mengira bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian lakukan. (Zubdatut Tafsir)Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menerangkan tentang kondisi orang kafir yang tertimpa ghurur sehingga tertipu oleh gemerlapnya kehidupan dunia:ذَلِكُمْ بِأَنَّكُمُ اتَّخَذْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ هُزُوًا وَغَرَّتْكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ لاَ يُخْرَجُونَ مِنْهَا وَلاَ هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ“Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (Al-Jatsiyah: 35)Demikian mereka dihancurkan oleh ghurur, sehingga mereka menuai hasil yang teramat getir di akhirat. Janganlah mengira bahwa hanya mereka yang tertimpa ghurur. Ternyata kaum muslimin pun, dari berbagai macam status sosial mereka, bahkan para ulama, para da’i, dan para penuntut ilmu juga banyak yang tertimpa ghurur. Sungguh realita yang menyedihkan. Ibnu Qudamah t menjelaskan bagaimana ghurur ini menimpa orang-orang yang berilmu. Di antara mereka ada orang-orang yang menekuni ilmu syar’i akan tetapi mereka melalaikan pengawasan terhadap amal anggota badan mereka dan penjagaan dari perbuatan-perbuatan maksiat, serta lalai untuk menekan diri mereka agar senantiasa taat. Mereka tertipu dengan ilmu yang ada pada mereka sehingga mereka menyangka bahwa mereka punya tempat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.Padahal bila mereka melihat dengan ilmu mereka tentu akan tahu bahwa ilmu tidak dimaksudkan dengannya kecuali amal. Kalaulah bukan karena amal tentu ilmu tersebut tidak bernilai, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (Asy-Syams: 9) Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengatakan: telah beruntung orang yang mempelajari ilmu bagaimana cara menyucikannya.Orang yang tertimpa ghurur semacam ini, bila setan membisikkan kepadanya tentang keutamaan para ulama, maka hendaknya mengingat ayat-ayat yang menerangkan kepada kita tentang orang-orang yang berilmu tapi bermaksiat. Semacam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (Al-A’raf: 175-176)مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللهِ وَاللهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Al-Jumu’ah: 5)Di antara mereka ada sekelompok yang menekuni ilmu dan amal lahiriah tapi tidak mengawasi kalbu mereka agar menghapus dari diri mereka sifat-sifat yang tercela, semacam sombong, hasad atau iri dan dengki, riya` dalam amal, mencari popularitas, ingin lebih unggul dari yang lain.Mereka telah menghiasi lahiriah mereka, akan tetapi melupakan batin mereka dan mereka lupa terhadap hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada penampilan-penampilan dan harta benda kalian. Akan tetapi melihat kepada kalbu dan amal kalian.” (Shahih, HR. Muslim dan Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)Sekelompok yang lain mengetahui bahwa akhlak-akhlak batin tersebut tercela. Namun karena sifat bangga diri yang tersimpan pada mereka, mereka merasa aman bahkan merasa telah terbebas dari sifat-sifat tercela itu. Mereka merasa lebih tinggi untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan pada mereka sifat-sifat itu, bahkan –menurut mereka– yang tertimpa itu adalah mereka yang masih awam. Bila muncul dalam diri mereka percik kesombongan, merekapun mengatakan dalam diri mereka, ‘Ini bukan sombong. Bahkan ini adalah demi kemuliaan agama dan untuk menampakkan kemuliaan ilmu, serta merendahkan ahli bid’ah.’ Enggan berteman dengan orang-orang yang lemah, maunya dengan orang yang berpangkat atau berduit, merasa hina bila berteman dengan kaum dhuafa.Mereka tertipu oleh ghurur. Mereka lupa bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dahulu adalah orang-orang yang tawadhu’. Mereka bergaul dengan kaum dhuafa, bahkan mereka mengutamakan kefakiran dan kemiskinan.Diriwayatkan bahwa 'Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu dahulu ketika pergi menuju Syam beliau mendapati sungai yang mesti diseberangi. Maka turunlah beliau dari untanya dan melepaskan dua sandalnya lalu membawanya sembari mencebur dan menyeberangi sungai itu dengan untanya. Saat itu berkatalah Abu 'Ubaidah kepadanya: “Sungguh pada hari ini engkau telah melakukan sesuatu yang besar di mata penduduk bumi.” Umar pun menepuk dadanya dan mengatakan: “Duhai seandainya selainmu yang mengatakan kata-kata ini, wahai Abu Ubaidah. Sesungguhnya kalian (bangsa Arab) dahulu adalah orang-orang yang paling hina dan rendah, lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat kalian dan muliakan kalian dengan sebab mengikuti Rasul-Nya. Maka bagaimanapun kalian mencari kemuliaan dengan selain jalan itu niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakan kalian.”Sekelompok yang lain juga tertimpa ghurur, mereka mencari kesenangan dunia, kemuliaan, fasilitas, kecukupan dengan memperalat penampilan kealiman atau keshalihannya. Bila muncul pada mereka percikan riya`, iapun mengatakan dalam dirinya: “Saya hanya bermaksud menampakkan ilmu dan amal agar orang mengikuti saya, agar orang mendapat hidayah kepada ajaran ini.”Padahal jika tujuan mereka benar-benar untuk memberi jalan hidayah untuk manusia, tentu ia akan merasa senang ketika manusia mendapat hidayah melalui selain tangannya. Sebagaimana senangnya ketika manusia mendapat hidayah melalui tangannya. Karena siapa saja yang tujuan dakwahnya adalah memperbaiki manusia, maka ia akan merasa senang ketika manusia menjadi baik melalui tangan siapapun.Masih ada sekelompok yang lain. Mereka menekuni ilmu, membersihkan amal anggota badan mereka, serta menghiasinya dengan ketaatan, dan mengawasi amal kalbu mereka agar bersih dari riya, hasad, dan sombong. Akan tetapi masih tersisa di sela-sela kalbunya, tipu daya setan yang tersembunyi dan bahkan tipu daya jiwanya yang juga tersembunyi. Ia tidak tanggap akan keberadaannya. Engkau lihat mereka berupaya sungguh-sungguh dalam beramal dan memandang bahwa faktor pendorongnya adalah menegakkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi pada kenyataannya terkadang pendorongnya adalah mengharap sebutan orang terhadapnya. Sehingga terkadang muncul sikap merendahkan yang lain melalui sikapnya menyalah-nyalahkan yang lain, merasa dirinya lebih mulia dari yang lain.Ini dan yang sejenisnya merupakan cacat yang tersembunyi. Tidak terdeteksi kecuali oleh mereka yang kuat dan cermat serta tentunya mendapat taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun orang-orang semacam kami yang lemah ini maka kecil harapannya. Namun paling tidaknya seseorang mengetahui aib dirinya dan berusaha untuk memperbaikinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda:مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَائَتْه ُسَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ“Barangsiapa yang kebaikannya menyenangkannya dan kejelekannya menyusahkannya maka dia seorang mukmin.” (Shahih, HR Ath-Thabarani dari sahabat Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir)Orang yang semacam itu masih bisa diharapkan. Berbeda dengan mereka yang menganggap suci dirinya dan merasa dirinya termasuk orang-orang yang terpilih.Inilah ghurur yang menimpa orang-orang yang memperoleh ilmu agama. Bagaimana kiranya dengan mereka yang puas dengan ilmu yang tidak penting dan meninggalkan yang penting? Wallahul musta’an.
Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Friday, January 9, 2009

Adab Bermasyarakat



Adab Bermasyarakat
Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc
Syariah, Kajian Utama, 19 - Desember - 2008, 18:58:14


Manusia adalah makhluk sosial, satu dengan lainnya saling bergantung dan membutuhkan. Seseorang akan merasa tentram bila hidup bersama makhluk sejenisnya dan akan merasa kesepian manakala hidup sendirian. 

Jika demikian keadaannya maka mau tidak mau seseorang harus memiliki perangai yang dengannya akan terwujud keberlangsungan hidup yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.
Dalam hidup bermasyarakat setiap orang akan menghadapi manusia dengan berbagai corak dan watak yang berbeda-beda. Tentunya sebagai bagian dari masyarakat, seseorang ada kalanya menjadi pelaku (fa’il/ subjek) atau yang diperlakukan (maf’ul bihi/ objek). Terkadang memberi dan adakalanya diberi. Bila ingin menjadi anggota masyarakat yang baik, hendaklah berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya. Membimbing mereka kepada jalan kebaikan dan kemaslahatan serta mencegah mereka dari hal-hal yang membahayakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi manusia.” (HR. Ath-Thabarani dan Ad-Daruquthni dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 3289)
Apa yang manusia berikan kepadanya adalah salah satu dari dua perkara:
1. Kadang ia diperlakukan baik oleh mereka, maka hendaklah ia berterima kasih dan membalas kebaikan mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1954)
2. Adakalanya dia diperlakukan jelek, maka dalam kondisi seperti ini hendaknya dia bersabar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi berita gembira kepada orang yang bersabar terhadap gangguan manusia dengan sabdanya (yang artinya): “Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (Shahih Al-Adabul Al-Mufrad no. 300)

Akhlak yang Mulia dan Pengaruhnya dalam Pergaulan
Biasanya orang menilai baik dan buruknya seseorang dengan melihat perilaku kesehariannya. Mereka tidak akan menaruh simpati kepada seseorang sedalam apapun ilmunya dan sebesar apapun ketaatannya, manakala akhlak yang mulia tidak bisa tercermin dalam kehidupannya. Memang benar, jika lahiriah seseorang tidak menunjukkan kebaikan, itu merupakan bukti bahwa di batinnya ada kejelekan. Dahulu orang Arab mengatakan bahwa “Setiap bejana bila dituangkan akan mengeluarkan isinya masing-masing.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala di banyak ayat Al-Qur`an telah memerintahkan para hamba-Nya agar menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia serta memberi berita gembira dengan surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali 'Imran: 133-134)
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya menganjurkan umatnya untuk menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia. Sampai-sampai ketika beliau ditanya tentang sebaik-baik anugerah yang diberikan kepada seseorang, beliau menjawab: “Akhlak yang baik.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2789)
Seseorang bisa jadi tidak diberi kemudahan untuk banyak shalat malam dan puasa sunnah di siang hari. Namun bila baik akhlaknya, dia bisa menyusul dan mendapatkan derajat orang-orang yang melakukan shalat dan puasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin mendapat derajat orang yang berpuasa dan shalat malam dengan sebab baiknya akhlak.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 1932)
Berbicara tentang akhlak yang mulia sangat luas cakupannya. Apa yang telah disebutkan kiranya telah cukup untuk mengingatkan kaum mukminin supaya yang lalai terbangun dan yang lupa menjadi ingat. Hendaklah seorang mengaca diri, apakah terhadap orang lain dia berlemah lembut, berwajah ceria dan murah senyum?! Di mana dengan sikap itu mereka akan tenteram dengannya, suka berada di sisinya, dan mau bercengkrama dengannya. Mereka berlomba-lomba untuk menemaninya dalam perjalanan. Jiwa mereka tenang dari kejahatannya sebagaimana mereka merasa aman pada harta dan kehormatan mereka. Jual belinya mudah, ucapannya jujur, janjinya ditepati, dan tutur katanya baik. Tangannya terhindar dari kejahatan dan matanya tercegah dari khianat. Ucapan salamnya diberikan kepada pembantunya sebagaimana dia berikan kepada pemimpinnya. Wajahnya tersenyum ceria kepada orang yang tidak dia kenal seperti kalau ia tersenyum kepada rekan sejawatnya. Kedengkian hatinya telah tercabut dan prasangkanya terhadap saudaranya baik serta persaudaraannya tulus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan rasul-Nya mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
(Diambil dari kitab Al-Mau’izhah Al-Hasanah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani dari hal. 4-23 secara ringkas)
Adapun hakikat akhlak yang baik dalam bergaul bersama masyarakat adalah seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Mubarak rahimahullahu yaitu: wajah yang lapang (tersenyum), memberikan kebaikan, dan menahan diri dari menyakiti orang. (lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2005)
Berikut ini penjelasannya:
- Berseri-serinya wajah di saat berjumpa dengan orang tidak diragukan lagi merupakan bentuk meresapkan kebahagiaan kepada orang lain serta menarik kecintaan mereka, di samping pelakunya juga akan mendapat pahala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski kamu berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 1782). 
Coba kita berangkat dari sesuatu yang mudah dan tidak membutuhkan modal yaitu tersenyum. Niscaya kita akan sampai kepada sesuatu yang tinggi. Tetapi jika yang seperti ini saja diremehkan, mana mungkin bisa melakukan yang lebih besar? Kita justru menyaksikan pemandangan yang sebaliknya. Banyak manusia bila berpapasan dengan orang bukannya menebar salam dan senyuman, bahkan menampilkan wajah cemberut dan muka yang berpaling. Bila kaum muslimin bakhil dengan adab yang seperti ini, adab mana lagi yang akan dijalankan?! Maka, orang yang mengikuti jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih semestinya tahu bahwa ini merupakan salah satu jalan untuk diterimanya dakwah al-haq. Jadikanlah orang tertarik dan cinta dengan dakwah ini dan jangan membuat mereka lari. Sapalah orang yang berjumpa denganmu dan yang duduk semajelis denganmu, terutama mereka yang baru mengenal dakwah dan mulai tertarik dengan dakwah al-haq. Jangan bermuka sangar dan seram, karena hal itu akan memudaratkanmu dan kebenaran yang ada pada dirimu.
- Adapun memberikan kebaikan kepada orang maka sangat banyak bentuknya. Adakalanya dengan memberikan materi kepada orang yang membutuhkan, atau menyumbangkan tenaga, pikiran dan saran, atau apa saja yang bisa kita suguhkan dalam rangka mewujudkan maslahat bersama.
Memang manusia pada umumnya memiliki sifat egois dan mementingkan diri sendiri. Namun watak yang tercela ini bukan berarti tidak bisa diobati. Sesungguhnya membaca kisah-kisah keteladanan yang ada dalam Al-Qur`an, hadits, dan kitab-kitab sejarah para ulama Islam adalah salah satu jalan untuk seorang bisa meninggalkan sifat egois. Misalnya kisah Nabi Musa q ketika beliau lari dari Mesir, saat Fir’aun dan pasukannya hendak membunuhnya. Beliau berjalan kaki berhari-hari dengan rasa lapar yang luar biasa dan keletihan yang tiada tara. Sesampainya di Madyan, beliau melihat sekelompok manusia tengah memberi minum ternaknya. Di sana ada pula dua wanita penggembala yang tidak ikut berdesakan memberi minum ternaknya. Watak baik Nabi Musa q mendorongnya untuk membantu dua wanita yang lemah tadi untuk memberi minum ternak mereka, meski tubuhnya letih, pikirannya capek, dan perutnya kosong. Dibantunya dua wanita tadi tanpa meminta upah sedikitpun, padahal kondisinya sangat membutuhkan. 
Demikian pula di masa khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Manusia ditimpa kekeringan dan paceklik. Tatkala kondisi semakin parah, mereka datang kepada Abu Bakr dan mengatakan: “Wahai khalifah Rasulullah, langit tidak menurunkan hujan dan tanah tidak bisa tumbuh. Sementara manusia memperkirakan akan binasa, lalu apa yang harus kita lakukan?” 
Abu Bakr mengatakan: “Beranjaklah kalian dan bersabarlah! Sungguh aku berharap kalian tidak sampai memasuki sore melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melepaskan derita kalian.” Tatkala sore telah tiba, datang berita bahwa unta ‘Utsman telah datang dari Syam dan akan sampai Madinah besok pagi. Tatkala telah sampai, manusia keluar untuk menyambutnya. Ternyata ada seribu unta yang membawa gandum, minyak, dan kismis, lalu berhenti di depan rumah ‘Utsman. 
Para pedagang mendatanginya dengan mengatakan: “Juallah barang ini kepada kami, karena kamu tahu manusia sangat membutuhkannya!” 
‘Utsman mengatakan: “Dengan penuh kecintaan. Berapa kalian mau memberi untung barang daganganku?” 
Mereka mengatakan: “Setiap kamu beli satu dirham kami membeli darimu dua dirham.” 
‘Utsman berkata: “Ada yang berani memberi untung kepadaku lebih dari ini?” 
Mereka berkata: “Kami beli empat dirham.” 
‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?” 
Mereka mengatakan: “Lima dirham.” 
‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?” 
Mereka mengatakan: “Wahai Abu 'Amr (‘Utsman), tidak ada di Madinah para pedagang selain kami? Siapa lagi yang akan bisa membeli dengan harga ini?” 
‘Utsman mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memberi untung kepadaku sepuluh setiap satu dirham. Apakah kalian bisa lebih?” Mereka mengatakan: “Tidak.” 
‘Utsman berkata: “Sesungguhnya aku jadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai saksi bahwa aku telah menjadikan seluruh yang dibawa unta-unta ini adalah shadaqah untuk orang-orang fakir miskin dan yang membutuhkan.”
Ya, ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu telah menjualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan laba yang tidak bisa dihitung oleh manusia. (lihat Al-Khulafa` Ar-Rasyidun wad Daulah Umawiyah hal. 75-76). 
Masih adakah orang-orang seperti ‘Utsman dan para pedagang tadi yang bersegera untuk melepaskan krisis yang hampir menelan banyak korban, tanpa mereka mencari keuntungan duniawi setitikpun? Padahal kalau mereka ingin memanfaatkan kesempatan, niscaya mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya. Keinginan untuk mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tertanamnya sifat belas kasihan menghalangi mereka dari nafsu serakah. Apakah kiranya para saudagar kaya bisa mengambil pelajaran dari ini?! Atau bahkan mereka akan tetap larut di atas kerakusan mereka serta menari-nari di atas penderitaan umat? Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita adukan nasib kita.
- Sedangkan yang ketiga adalah menghindarkan dari menyakiti orang.
Cukuplah jika seseorang belum bisa berbuat baik kepada orang untuk menahan dirinya dari mengganggu manusia, baik terhadap nyawa, harta, atau kehormatannya. Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumumkan haramnya seorang muslim mengganggu orang lain di saat perkumpulan akbar yaitu ketika haji wada’ (haji perpisahan). 
Siapa saja yang mengganggu orang lain dengan mengambil hartanya, menipu, mencerca dan semisalnya maka tidak dikatakan baik akhlaknya. Akan semakin jelek manakala orang yang disakiti memiliki hak yang besar atasnya. Menyakiti kedua orangtua lebih besar dosanya daripada kepada orang lain. Mengganggu karib kerabat lebih jahat daripada kepada orang jauh. Demikian pula terhadap tetangga lebih besar dosanya daripada kepada selain tetangga. 
Oleh karena itu Islam telah menentukan adanya hukum had seperti qishash bagi yang membunuh dengan sengaja, potong tangan bagi yang mencuri, hukuman dera bagi yang meminum khamr, dan lainnya. Ini semua dalam rangka menjaga kehormatan manusia agar tidak diganggu tanpa hak. 
Bahkan orang-orang yang rentan untuk dizalimi seperti para budak, istri, anak-anak, orang fakir dan semisalnya, hak mereka telah dilindungi oleh syariat Islam. Kita ambil contoh, peristiwa Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika suatu hari budaknya lengah di saat menggembalakan kambingnya sehingga ada yang dimakan serigala. Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu marah dan mencambuknya. Lalu dari belakang terdengar suara: “Wahai Abu Mas’ud, sungguh Allah lebih mampu untuk menghukum kamu daripada kamu menghukum budakmu!” Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menoleh, ternyata itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Wahai Rasulullah, budak itu saya merdekakan ikhlas karena Allah!” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Ketahuilah, jika kamu tidak melakukan demikian niscaya kamu disentuh oleh api neraka.” (lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 127)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَاءِهِمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu) 
Wallahu a’lam bish-shawab.




Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Waktu Shalat Jum’at



Waktu Shalat Jum’at
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Syariah, Seputar Hukum Islam, 05 - Januari - 2009, 17:36:40


Selesai sudah pembahasan kita tentang waktu shalat fardhu yang lima waktu. Berikut ini kita akan membahas tentang waktu shalat Jum’at yang juga merupakan shalat yang wajib ditunaikan oleh kaum laki-laki di masjid. 

Pendapat mayoritas ulama, waktu shalat Jum’at adalah bila matahari telah tergelincir seperti halnya waktu shalat zhuhur. Hal ini ditunjukkan dalam hadits-hadits berikut ini: 
Dari Iyas bin Salamah ibnul Akwa’ dari ayahnya, ayahnya berkata: 
كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ 
“Kami shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila matahari telah tergelincir. Kemudian (selesai shalat) kami kembali ke tempat kami dengan mengikuti bayangan (benda/pohon dan sebagainya, pent.)” (HR. Al-Bukhari no. 4168 dan Muslim no. 1989)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ 
“Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat Jum’at ketika matahari miring (condong ke barat, pent.)” (HR. Al-Bukhari no. 904)
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: 
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَرْجِعُ فَنُرِيْحُ نَوَاضِحَنَا. قَالَ حَسَنٌ: فَقُلْتُ لِجَعْفَرٍ: فِي أَيِّ سَاعَةٍ تِلْكَ؟ قَالَ: زَوَالَ الشَّمْسِ 
“Kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kami kembali lalu mengistirahatkan unta-unta kami.” Hasan1 berkata, “Aku bertanya kepada Ja’far2, ‘Waktunya kapan itu?’ Ja’far menjawab, ‘Saat matahari tergelincir’.” (HR. Muslim no. 1986)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Dalam hadits (Anas) didapatkan bahwa yang menjadi kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat Jum’at apabila matahari telah tergelincir.” (Fathul Bari, 2/499) 
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam hadits ini ada dalil disegerakannya shalat Jum’at. Apabila seseorang menunaikannya sebelum zawal (tergelincir matahari) maka tidaklah dibolehkan, sebagaimana sebagian mereka berpendapat demikian.” (Syarhus Sunnah, 4/239) 
Al-Imam An Nawawi rahimahullahu mengatakan, “Hadits-hadits ini menampakkan tentang penyegeraan shalat Jum’at. Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang yang datang setelah mereka mengatakan, ‘Tidak boleh dilaksanakan shalat Jum’at kecuali setelah matahari tergelincir (zawal)’.” 
Tidak ada yang menyelisihi hal ini kecuali Ahmad ibnu Hanbal dan Ishaq. Keduanya membolehkan shalat Jum’at sebelum zawal. Al-Qadhi berkata, “Diriwayatkan dalam masalah ini beberapa pendapat dari para sahabat. Namun tidak ada sedikitpun yang shahih kecuali pendapat yang dipegangi jumhur3. Jumhur mengarahkan hadits-hadits ini kepada makna mubalaghah (penekanan yang sangat) dalam menyegerakan shalat Jum’at. Mereka sampai mengakhirkan makan dan tidur siang pada hari Jum’at ini sampai selesai mengerjakan shalat Jum’at, karena mereka menyenangi untuk bersegera mendatangi masjid untuk menanti shalat Jum’at. Seandainya sebelumnya mereka tersibukkan dengan sesuatu dari perkara itu, mereka khawatir terluputkan dari shalat Jum’at, atau luput dari bersegera mendatangi shalat Jum’at.” (Al-Minhaj, 6/387)
At-Tirmidzi rahimahullahu berkata, “Inilah yang disepakati oleh kebanyakan ahlul ilmi bahwa waktu shalat Jum’at adalah jika matahari tergelincir seperti waktu zhuhur. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Sebagian mereka berpandangan shalat Jum’at itu boleh juga bila ditunaikan sebelum zawal. Al-Imam Ahmad berkata, ‘Siapa yang mengerjakan shalat Jum’at sebelum zawal maka tidak dipandang ia harus mengulangi shalatnya’.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/8)
Al-Mubarakfuri mengatakan, “Yang zahir yang dicondongi adalah pendapat jumhur bahwa tidak boleh mengerjakan shalat Jum’at kecuali setelah tergelincirnya matahari. Adapun pandangan sebagian mereka tentang bolehnya shalat Jum’at sebelum zawal, maka tidak ada hadits shahih yang sharih (jelas) yang menunjukkannya. Wallahu a’lam.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Jumu’ah, bab Ma Ja`a fi Waqtil Jumu'ah, hadits no. 503) 
Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Shalat Jum’at itu adalah zhuhurnya hari Jum’at. Tidak boleh ditunaikan kecuali setelah zawal, dan akhir waktunya sama dengan akhir waktu zhuhur pada hari-hari yang lainnya.” (Al-Muhalla bil Atsar, 3/244)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu membuat satu bab dalam Shahih-nya yang berjudul bab Waqtul jumu’ah idza zalatisy syamsu (waktu Jum’at apabila matahari telah tergelincir). 
Az-Zarqani dalam Syarhul Muwaththa' (1/40) mengatakan, “Waktu Jum’at apabila matahari tergelincir sebagaimana shalat zhuhur menurut jumhur. Sebagian imam (ulama) telah berpendapat ganjil dengan membolehkan penunaian Jum’at sebelum zawal. Al-Imam Malik rahimahullahu berargumen dengan perbuatan ‘Umar dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhuma karena keduanya termasuk Al-Khulafa Ar-Rasyidun yang kita diperintah untuk mencontoh mereka.” 
Perbuatan ‘Umar dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhuma yang dimaksud adalah seperti yang ditunjukkan dalam dua atsar yang diriwayatkan oleh Al-Imam Malik rahimahullahu dalam kitabnya, Al-Muwaththa` (no. 13 dan no. 14) berikut ini: 
Abu Suhail bin Malik dari bapaknya, dia mengatakan:
كُنْتُ أَرَى طِنْفِسَةً لِعَقِيْلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، تُطْرَحُ إِلَى جِدَارِ الْمَسْجِدِ الْغَرْبِي، فَإِذَا غَشِيَ الطِّنْفِسَةَ كُلَّهَا ظِلُّ الْجِدَارِ، خَرَجَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَصَلَّى الْجُمُعَةَ 
“Aku melihat permadani milik ‘Aqil bin Abi Thalib dibentangkan ke dinding sebelah barat masjid An-Nabawi. Apabila seluruh permadani itu telah diliputi oleh bayangan dinding, keluarlah ‘Umar ibnul Khaththab (yang ketika itu sebagai khalifah, pent.) dan mengerjakan shalat Jum’at (mengimami orang-orang, pent.).” 
Ibnu Abi Salith mengabarkan: 
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ صَلَّى الْجُمُعَةَ بِالْمَدِيْنَةِ وَصَلَّى الْعَصْرَ بِمَلَلٍ. قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ لِلتَّهْجِيْرِ وَسُرْعَةِ السَّيْرِ 
“Utsman bin Affan shalat Jum’at di Madinah dan shalat ashar di Malal4.” Malik berkata, “Hal itu karena shalat Jum’at dilaksanakan di waktu hajirah (tengah hari setelah zawal) dan cepatnya perjalanan (sehingga Utsman mencapai Malal di waktu ashar setelah mengerjakan shalat Jum’at di Madinah, pent.).” 
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata tentang riwayat Abu Suhail dari bapaknya di atas, “Sanadnya shahih. Atsar ini jelas menunjukkan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu keluar untuk mengimami manusia dalam shalat Jum’at setelah zawal. Namun sebagian mereka memahami sebaliknya (yaitu sebelum zawal). Namun pemahaman ini tidak bisa dituju terkecuali bila dianggap permadani Aqil tersebut dibentangkan di luar masjid, namun ini amatlah jauh dari kemungkinan. Yang zahir justru permadani tersebut dibentangkan di dalam masjid. Berdasarkan hal ini, berarti keluarnya ‘Umar radhiyallahu ‘anhu lebih mundur sedikit dari waktu zawal. Dalam hadits As-Saqifah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَزَالَتِ الشَّمْسُ خَرَجَ عُمَرُ وَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ
“Maka tatkala datang hari Jum’at dan matahari telah tergelincir, keluarlah Umar dan duduk di atas mimbar (untuk khutbah Jum’at sebelum mengerjakan shalat Jum’at).” (Fathul Bari, 2/498) 
Az-Zarqani berkata, “Masing-masing dari perbuatan ‘Umar dan ‘Utsman menunjukkan awal waktu Jum’at adalah dari saat zawal sebagaimana shalat zhuhur.” (Syarhul Muwaththa’, 1/42)
Atsar dari para sahabat yang mendukung pendapat ini, antara lain: 
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalan Abu Ishaq bahwasanya: 
أَنَّهُ صَلَّى خَلْفَ عَلِيٍّ الْجُمُعَةَ بَعْدَ مَا زَالَتِ الشَّمْسُ
“Ia shalat Jum’at di belakang Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu setelah matahari tergelincir.”5
Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari jalan Abu Razin, ia berkata: 
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ عَلِيٍّ الْجُمُعَةَ فَأَحْيَانًا نَجِدُ فَيْئًا وَأَحْيَانًا لاَ نَجِدُ
“Kami shalat Jum’at bersama Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu maka terkadang kami mendapati fai’6 namun terkadang pula kami tidak mendapatinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata “Riwayat ini dibawa pada pemahaman disegerakannya (shalat Jum’at) persis ketika zawal (sehingga belum didapatkan fai’) atau diakhirkan sedikit setelah zawal (sehingga didapati fai’).” (Fathul Bari, 2/498) 
Mengerjakan shalat Jum’at di waktu zawal ini juga dilakukan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu yang ketika itu menjadi gubernur di negeri Kufah pada awal pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Diriwayatkan hal ini oleh Ibnu Abi Syaibah, juga dari Simak bin Harb dengan sanad yang shahih. Simak berkata: 
كَانَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيْرٍ يُصَلِّي بِنَا الْجُمُعَةَ بَعْدَ مَا تَزُوْلُ الشَّمْسُ 
“Adalah An-Nu’man bin Basyir shalat Jum’at mengimami kami setelah matahari tergelincir.”
Ada pula riwayat dari sahabat yang menyelisihi pendapat yang mengatakan waktu Jum’at adalah saat zawal. Seperti yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari jalan Abdullah bin Salimah, ia berkata:
صَلَّى بِنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه الْجُمُعَةَ ضُحىً، وَقَالَ: خَشِيْتُ عَلَيْكُمُ الْحَرَّ
“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu shalat Jum’at mengimami kami di waktu dhuha dan ia berkata, ‘Aku khawatir kalian kepanasan’.”
Abdullah bin Salimah ini rawi yang shaduq, namun berubah hafalannya ketika tua, demikian kata Syu’bah dan selainnya. 
Adapula riwayat dari jalan Sa’id bin Suwaid, ia berkata: 
صَلَّى بِنَا مُعَاوِيَةُ رضي الله عنه الْجُمُعَةَ ضُحىً 
“Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu shalat Jum’at mengimami kami di waktu dhuha.”
Sa’id ini disebutkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Adh-Dhu’afa`. 
Sebagian Hanabilah (pengikut mazhab Hambali) berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
إِنَّ هذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللهُ عِيْدًا لِلْمُسْلِمِيْنَ
“Sesungguhnya ini adalah hari (yakni hari Jum’at, pent.) yang Allah jadikan sebagai hari raya bagi kaum muslimin.” 
Mereka menyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan hari Jum’at sebagai hari raya berarti dibolehkan mengerjakan shalat Jum’at di waktu pelaksanaan shalat hari raya Idul Fithri dan Idul Adha. Namun penamaan hari Jum’at sebagai hari raya tidaklah mengharuskan seluruh hukum hari raya berlaku atasnya. Buktinya, kalau pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha diharamkan puasa secara mutlak, beda halnya dengan hari Jum’at. (Fathul Bari, 2/498)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa yang afdal/utama dari berbagai pendapat itu adalah waktu Jum’at itu setelah zawal, sesuai pendapat kebanyakan ulama. (Asy-Syarhul Mumti', 5/33)
Dengan demikian, pendapat yang kuat dan kami condongi adalah sebagaimana pendapat jumhur. Shalat Jum’at itu awal waktunya sama dengan waktu shalat zhuhur. Demikian pula akhir waktunya. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Disenanginya Menyegerakan Shalat Jum’at apabila telah Masuk Waktunya
Salamah ibnul Akwa’ radhiyallahu ‘anhu berkata: 
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعَةَ فَنَرْجِعُ وَمَا نَجِدُ لِلْحَيْطَانِ فَيْئًا نَسْتَظِلُّ بِهِ 
“Kami pernah shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami kembali ke tempat kami (selesai mengerjakan Jum’at) dalam keadaan kami tidak mendapati bayangan tembok/dinding yang bisa kami jadikan naungan.” (HR. Muslim no. 1990)
Dalam hadits ini bukan berarti tidak ada bayangan sama sekali dari tembok/dinding itu sehingga dipahami bahwa matahari belum zawal saat itu. Karena yang dinyatakan tidak ada atau dinafikan oleh Salamah hanyalah bayangan yang bisa dijadikan naungan, yang mencukupi untuk berteduh dari panas. Sementara tembok/dinding mereka pendek dan negeri mereka berada di tengah dari matahari, sehingga tidak tampak bayangan yang bisa dijadikan tempat berteduh di sana kecuali setelah waktu yang panjang dari berlalunya zawal. Ini jelas menunjukkan shalat Jum’at langsung dilaksanakan ketika zawal (tanpa penangguhan waktu). Di samping juga menunjukkan ringkasnya khutbah Jum’at yang disampaikan sebelum shalat. (Al-Majmu’ 4/381, Al-Minhaj 6/387,388, Al-Muhalla 3/247)
Abdullah bin Maslamah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abi Hazim dari bapaknya, dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
كُنَّا نَفْرَحُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ. قُلْتُ لِسَهْلٍ: وَلِمَ؟ قَالَ: كَانَتْ لَنَا عَجُوْزٌ تُرْسِلُ إِلَى بُضَاعَةَ -نَخْلٍ بِالْمَدِيْنَةِ– فَتَأْخُذُ مِنْ أُصُوْلِ السِّلْقِ فَتَطْرُحُهُ فِي قِدْرٍ وَتُكَرْكِرُ حَبَّاتٍ مِنْ شَعِيْرٍ، فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا، فَتُقَدُّمُهُ إِلَيْنَا، فَنَفْرَحُ مِنْ أَجْلِهِ وَمَا كُنَّا نَقِيْلُ وَلاَ نَتَغَدَّى إِلاَّ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
“Kami merasa senang pada hari Jum’at.” Aku (Abu Hazim) bertanya kepada Sahl, “Kenapa?” Sahl menjawab, “Kami punya (kenalan) seorang wanita tua. Ia mengirim orang ke Budha’ah –sebuah kebun yang ada di Madinah– lalu ia mengambil pokok pohon silq (semacam sayuran, pent.) dan dimasukkannya ke dalam bejana (yang berisi air, pent.), dimasak hingga matang. Kemudian ia mengadon biji-bijian dari gandum. Bila kami selesai dari shalat Jum’at, kami pergi ke tempat wanita tersebut dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu ia menghidangkan masakan tersebut kepada kami, sehingga kami bergembira karenanya7. Tidaklah kami qailulah8 dan tidak pula makan siang kecuali setelah shalat Jum’at.” (HR. Al-Bukhari no. 6248)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنَّا نُبَكِّرُ بِالْجُمُعَةِ وَنَقِيْلُ بَعْدَ الْجُمُعَةِ 
“Kami tabkir (bersegera datang ke masjid) untuk menanti pelaksanaan shalat Jum’at dan kami qailulah setelah shalat Jum’at.” (HR. Al-Bukhari no. 905)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyatakan, “Zahir riwayat Anas ini menunjukkan bahwa mereka (para sahabat) mengerjakan shalat Jum’at di awal siang9. Akan tetapi thariqah jam’i10 lebih utama daripada menganggap adanya pertentangan (di antara nash yang ada sehingga salah satunya ada yang ditinggalkan, pent.). Telah ditetapkan dalam penjelasan yang telah lewat bahwa istilah tabkir dipakai untuk menunjukkan pengerjaan sesuatu di awal waktu, atau dikedepankan dari yang lainnya. Inilah yang dimaukan di sini11. Maknanya, mereka mendahulukan pelaksanaan shalat Jum’at sebelum tidur siang. Berbeda dengan kebiasaan mereka di selain hari Jum’at dalam melaksanakan shalat zhuhur di hari yang panas. Mereka biasanya tidur siang dahulu kemudian baru mengerjakan shalat karena adanya pensyariatan ibrad (menunda shalat hingga waktu yang tidak terlalu panas).” 
Kemudian Al-Hafizh berkata, “Akan datang dalam judul bab setelah ini pengibaratan tabkir dan yang dimaukan adalah shalat di awal waktu, dan ini memperkuat apa yang kami nyatakan. Az-Zain ibnul Munayyir dalam Al-Hasyiyah, ‘Al-Bukhari menafsirkan hadits Anas yang kedua12 dengan hadits Anas yang pertama13, sebagai isyarat bahwa tidak ada ta’arudh (saling bertentangan) di antara keduanya.” (Fathul Bari, 2/499) 
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Hasan bin ‘Ayyasy, salah seorang perawi hadits ini.
2 Ja’far bin Muhammad yang meriwayatkan hadits ini dari bapaknya, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.
3 Sebagaimana dalam Al-Ikmal (3/254).
4 Sebuah tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah sejauh 17 mil dari Madinah. (An-Nihayah)
5 Kata Al-Hafizh dalam Fathul Bari (2/498), “Sanadnya shahih.”
6 Bayangan benda yang tampak ketika matahari tergelincir (zawal).
7 Para sahabat bergembira dengan hidangan tersebut karena dulunya mereka bukanlah orang-orang yang berpunya, kecuali setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan rezeki untuk mereka dengan kemenangan-kemenangan dalam peperangan yang dengannya mereka beroleh ghanimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 
وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا
“Dan ghanimah-ghanimah yang banyak yang mereka ambil.” (Al-Fath: 19)
Dengan kemenangan-kemenangan tersebut banyaklah harta, setelah sebelumnya mayoritas sahabat adalah dari kalangan fuqara. (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/29-30)
8 Al-Azhari berkata: “Qailulah menurut orang-orang Arab adalah istirahat di tengah hari walaupun tidak sampai tidur. Dalilnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: 
أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلًا
“Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya/tempat qailulah.” (Al-Furqan: 24)
Sementara di dalam surga penghuninya tidak pernah tidur. (Syarhus Sunnah, 4/241)
9 Sementara dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang lain disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat Jum’at ketika matahari telah condong ke barat.
10 Menggabungkan nash sehingga semuanya diamalkan, tidak ada nash yang ditinggalkan. –pent.
11 Bukan maknanya shalat Jum’at tersebut dikerjakan di awal siang/sebelum zawal.
12 Yaitu hadits: 
كُنَّا نُبَكِّرُ بِالْجُمُعَةِ وَنَقِيْلُ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
“Kami tabkir (bersegera datang ke masjid) untuk menanti pelaksanaan shalat Jum’at dan kami qailulah setelah shalat Jum’at.”
13 Yaitu hadits: 
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat Jum’at ketika matahari miring (condong ke barat, pent.)”





Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Thursday, January 8, 2009

Kesederhanaan cara Rasulullah

Kajian Kamis, 08 Januari 2009
Masjid MTQ Jambu Jombang
Ustd. Irfan

Kitab Riyadus sholihin Imam Nawawi
Hadis No.673

Isi :
Dirumah Rasullullah tidak ditemukan kurma yang jelek sekalipun, padahal beliau seorang pemimpin dunia.
menandakan kezuhudan rasul dalam hidupnya.

bagi murid hendaknya mengetahui keadaan pemimpinnya dan ikut merasakannya.
Zuhudnya Rasul sabar dalam kelaparannya.

Sabda Nabi
" Sesungguhnya jiwa tidak akan mati selama belum sempurna rizkinya "
Rizki tidak ada kaitannya dengan nasab, kepintaran,keahlian,ketaatan.
Alloh membagi Rizki dengan hikmah yang hanya Alloh yang tahu.
Kemewahan seseorang bukan ukuran kecintaan Alloh padanya.


Rasulullah wafat dan tidak ada sesuatu dirumahnya (Aisyah) yang dapat dimakan kecuali sedikit gandum yang di rak.

Disunnahkan hemat dalam NAFKAH.
Mukjizat Nabi Muhammad memperbanyak makanan yang sedikit.
Wajib bersyukur mendapat rizki dari Alloh.

Para Nabi tidak mewariskan harta.
Peninggalan Rasulullah dijadikan sedekah.

Anak -anak beliau tidak mendapat warisan
budak beliau otomatis merdeka

Kain Kafan hendaklah menutupi seluruh tubuh, bila tidak cukup utamakan kepala, sisanya bagian kaki ditutup dengan tumbuhan/rumputan.
kain kafan diambil dari harta si mayyit.

Rizki diberikan kepada semua orang baik dicintai atau tidak oleh Alloh.

Tapi Nikmat agama dan hidayah hanya diberikan kepada orang yang dicintai Alloh saja.

Monday, January 5, 2009

Silaturahim, Keindahan Akhlak Islami


Silaturahim, Keindahan Akhlak Islami
Penulis: Al-Ustadz Abu ‘Awanah Jauhari, LcSyariah,
Tafsir, 19 - Desember - 2008, 23:05:44وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)MukadimahSyariat Islam sungguh indah. Ia mengajarkan adab nan tinggi dan akhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan selalu berusaha menjaga keutuhan keluarga. Membersihkan berbagai noda di dada yang akan merusak hubungan sesama manusia yang satu keluarga. Menyantuni yang tidak punya dan tidak iri dengki kepada yang kaya. Silaturahim adalah resep mustajab untuk ini semua. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturahim termasuk inti dakwah Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata: Amr bin ‘Abasah As-Sulami zberkata: فَقُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: أَرْسَلَنِي بِصِلَةِ الْأَرْحَامِ وَكَسْرِ الْأَوْثَانِ وَأَنْ يُوَحَّدَ اللهُ لاَ يُشْرَكَ بِهِ شَيْءٌAku berkata: “Dengan apa Allah mengutusmu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah mengutusku dengan silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya sesuatupun.” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin, Bab Islam ‘Amr bin ‘Abasah, no. 1927)An-Nawawi t menjelaskan hadits ini dengan menyatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas untuk memotivasi silaturahim. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringkannya dengan tauhid dan tidak menyebutkan bagian-bagian Islam yang lain kepadanya (‘Amr). Beliau hanya menyebutkan yang terpenting, dan beliau awali dengan silaturahim.” (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul Mu`ayyad)Makna SilaturahimSilaturahim berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata صِلَةٌ dan الرَّحِمُ . Kata صِلَةٌ adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata وَصَلَ- يَصِلُ, yang berarti sampai, menyambung. Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “وَصَلَ – الْاِتِّصَالُ yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal. 525)Adapun kata الرَّحِمُ, Ibnu Manzhur berkata: “الرَّحِمُ adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” (Lisanul ‘Arab)Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.Penjelasan Ayatوَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menjelaskan: “Allah l memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk dalam penghambaan diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya, dengan kecintaan, ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah, lahiriah maupun batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Baik syirik kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun makhluk lainnya yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat, kematian, kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan (kewajiban) yang pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki kesempurnaan dari segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”Setelah Allah l memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah l memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka Allah l mengatakan: وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.”Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik, dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.Berbakti kepada kedua orangtua memiliki dua lawan, yaitu berbuat jelek (durhaka) dan tidak berbuat baik. Kedua hal ini terlarang. وَبِذِي الْقُرْبَى“(Dan kepada) karib kerabat.”Yakni, berbuat baiklah juga kepada mereka. Kerabat di sini meliputi semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat baik kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak memutuskan silaturahim dengan mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. وَالْيَتَامَى“(Dan kepada) anak-anak yatim.”Anak yatim yaitu orang yang ditinggal mati ayah mereka dalam keadaan masih kecil. Mereka punya hak atas kaum muslimin. Baik anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan. Bentuk perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan menanggung biaya hidup mereka, berbuat baik dan melipur derita mereka, mendidik mereka dengan pendidikan terbaik, dalam urusan agama maupun dunia. وَالْمَسَاكِينِ“(Dan kepada) orang-orang miskin.”Yaitu orang-orang yang tertahan dengan kebutuhan mereka sehingga tidak mendapatkan kecukupan untuk diri mereka dan orang yang mereka tanggung. Bentuk perbuatan baik kepada mereka adalah dengan menutupi kekurangan mereka, membantu mereka sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan mengajak orang lain untuk melakukan hal tersebut dan melakukan apa yang mampu untuk dilakukan. وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى“(Dan kepada) tetangga yang dekat.”Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan kita. Sehingga dia mempunyai dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak sebagai tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan kepada adat yang berlaku.Demikian juga dengan: وَالْجَارِ الْجُنُبِ“Tetangga yang jauh.” Yaitu tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, tetangga yang lebih dekat pintunya lebih besar pula haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk selalu memerhatikan tetangganya, dengan memberikan hadiah, shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga tidak menyakitinya, baik dengan ucapan maupun perbuatan. وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ“(Dan kepada) teman sejawat.”Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah teman dalam perjalanan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah istri. Ada yang mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan mungkin pendapat (terakhir) ini lebih benar, karena mencakup teman di rumah, di perjalanan, serta istri. Sehingga, seorang teman memiliki kewajiban terhadap temannya lebih daripada hak Islamnya, untuk membantunya dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya, menepati janji terhadapnya, ketika senang ataupun susah, ketika sedang bersemangat ataupun malas. Hendaknya ia mencintai untuk temannya apa yang dia sukai untuk dirinya, dan membenci apa yang ia benci untuk dirinya. Semakin lama pergaulan dengannya, semakin besar pula haknya.وَابْنِ السَّبِيلِ“(Dan kepada) ibnu sabil.”Yaitu orang asing di negeri lain, yang membutuhkan bantuan materi ataupun tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin, karena dia sangat butuh atau karena dia berada di negeri asing. Dia memerlukan bantuan agar sampai ke tempat tujuannya atau tercapai sebagian maksud dan cita-citanya. Juga dengan memuliakan dan menemaninya agar tidak kesepian. وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ“(Dan kepada) hamba sahayamu.”Yaitu apa yang kalian miliki, baik dari kalangan Bani Adam atau dari hewan. Perbuatan baik di sini yaitu dengan mencukupi kebutuhan mereka dan tidak membebani sesuatu yang memberatkan mereka. Membantu mereka melaksanakan hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik mereka untuk kemaslahatan mereka. Maka barangsiapa yang melaksanakan perintah-perintah Allah l dan syariat-Nya, berhak mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang indah. Sedangkan orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah tersebut, dialah orang yang menjauh dari Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya, tidak rendah hati kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang sombong terhadap hamba Allah l, teperdaya dengan dirinya dan bangga dengan ucapannya. Oleh karena itulah Allah l berfirman: إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong….”Maksudnya, sesungguhnya Allah l tidak mencintai orang yang teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah l. فَخُورًا“…dan membangga-banggakan diri.”Yakni, memuji dirinya dan menyanjungnya untuk membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada hamba Allah l. (Tafsir As-Sa’di, hal. 191-192, cet. Darus Salam)Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ“Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslim dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus z)Targhib (Motivasi)Allah l melengkapi perintah untuk menyambung tali silaturahim dengan memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji tersebut adalah: 1. Surga adalah balasan bagi orang yang menyambung tali silaturahim. Allah l mengatakan: وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Ar-Ra’d: 21)‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t menyatakan: وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.” Ini umum meliputi semua perkara yang Allah l perintahkan untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, taat beribadah kepada-Nya semata dan taat kepada Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan berbuat baik kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan, tidak durhaka kepada mereka. Juga, menyambung karib kerabat, dengan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Juga menyambung dengan para istri, teman, dan hamba sahaya, dengan memberikan hak mereka secara sempurna, baik hak-hak duniawi ataupun agama.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 481, cet. Darus Salam)Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Ra’d ini, Allah l memberitahukan: وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ. جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ ءَابَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ(23)سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ“Orang-orang itulah1 yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari z:يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ. فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ“Seseorang berkata: ‘Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim’.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no. 13)2. Shadaqah kepada kerabat berpahala ganda. Dari Salman bin ‘Amr z, dari Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: الصَّدَقَةُ عَلىَ الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ“Shadaqah kepada orang miskin itu satu shadaqah. Dan shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan penyambung silaturahim.” (HR. At-Tirmidzi no. 685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban menshahihkannya)3. Orang yang menyambung tali silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya. Dari Anas z, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ“Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)Tarhib (Ancaman)Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah: 1. Laknat Allah l dan tempat kembali yang buruk (neraka) bagi yang memutus tali silaturahim. Allah l mengatakan dalam surat Ar-Ra’d ayat 25:وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im z, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ. قَالَ سُفْيَانُ فِي رِوَايَتِهِ: يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.” Sufyan Ats-Tsauri t mengatakan dalam riwayatnya: “Maksudnya, orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)2. Dijadikan buta dan tuli. Allah l berfirman: فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23)Ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahim, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud z, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَةِ. قاَلَ: نَعَمْ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلىَ. قَالَ: فَذَلِكِ لَكِ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَؤُوا إِنْ شِئْتُمْ: فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai dari mereka, berdirilah Ar-Rahim (rahim) dan mengatakan: ‘Inilah kedudukan (makhluk) yang minta perlindungan kepada-Mu dari diputus hubungan.’ Allah mengatakan: ‘Ya. Tidakkah engkau puas (bahwa) Aku akan menyambung siapa yang menyambungmu, dan memutus siapa yang memutusmu?’ Ar-Rahim mengatakan: ‘Ya.’ Allah menyatakan: ‘Itu bagimu’.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bacalah bila kalian mau: فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349, 13/392 dan Muslim no. 2554]3. Orang yang memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan azab di dunia dan akhirat. Dari Abu Bakrah z, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ“Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” (HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud, Kitabul Adab (43) no. 4901, dan ini lafadz beliau, At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah no. 1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab Al-Baghi, no. 4211)Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar MembalasBanyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah, dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya –misalnya– tidak mau dia berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali silaturahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung tali silaturahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin ‘Amr c, dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا“Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}Ibnu Hajar t mengatakan: “Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka ada tiga tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2) orang yang membalas, dan (3) orang yang memutuskan. Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu ditolong oleh Allah l. justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan itulah yang mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu Mas’ud z: Ada seseorang berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلِمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ. فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيٌر عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan aku sambung mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi mereka selalu berbuat jahil kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan Allah tetap bersamamu menghadapi mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul Birr wash-Shilah, bab Silaturahim wa tahrimu qathi’atiha, no. 6472)Silaturahim kepada Kerabat Non MuslimAllah l telah berfirman: لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menjelaskan: “Artinya, Allah l tidak melarang kalian dari kebaikan, silaturahim, dan membalas kebaikan serta berlaku adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian. Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka dalam keadaan seperti ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”Abul Fida` Ismail bin Katsir t menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr Ash-Shiddiq c, dia mengatakan: قَدِمَتْ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ .... فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ“Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ya, berbuat baiklah kepada ibumu’.” (HR. Ahmad 6/344, Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (7) no. 5978 dan 5979, Muslim Kitabuz Zakat (50) no. 2322)Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang yang memerangi agama kita, dan tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita terhadap agamanya. Justru kita harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan kekafirannya.Wallahul hadi ila sawa`is sabil. 1 Yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam beberapa ayat sebelumnya.
Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu :
www.asysyariah.com

langgeng.js
© 2009-2018